Kamis, 14 Februari 2008 |
Steve Irwing berekspedisi untuk melihat langsung beragam jenis hewan. Di Taman Mini, pengunjung bisa menjelajahi Museum Serangga untuk melihat langsung puluhan ribu serangga liar. Tapi yang ini tak perlu bertaruh nyawa.
Mengunjungi Taman Mini Indonesia Indah, kian terasa kalau Indonesia memang negeri yang kaya dan indah. Apalagi udara yang sangat sejuk siang itu, Selasa (12/2), mendukung aktivitas mengelilingi Museum Serangga di kompleks Aquarium Air Tawar TMII. Baru menjejakkan kaki saja di gerbang museum, saya makin yakin kalau negara tempat saya dilahirkan ini memang kaya tiada tara. Di atas sebuah bidang besar, dijejerkanlah ribuan kumbang nusantara seolah menyambut setiap tamu yang datang.
Meski tidak fobia serangga, museum yang satu ini tetap sukses bikin sebagian pengunjungnya merinding. Tapi mampu juga bikin jatuh cinta. Di awal-awal, kita akan “dihibur” berbagai koleksi serangga kecil seperti lalat, semut, dan semacamnya. Makin ke dalam ruangan museum, “hiburan” tambah mencengangkan. Mulai dari ukuran sampai atributnya, koleksi serangga di ruangan ini mampu membuka mata pengunjung tentang apa yang disimpan hutan-hutan Indonesia. Begitu guide bercerita tentang kemampuan mencapitnya kumbang badak yang punya satu tanduk raksasa ini, akan semakin melototlah pengunjung memperhatikannya. Kumbang ini pula yang jadi dijadikan logo dan dipajang di depan gerbang museum. Belum lagi keunikan kumbang kotoran yang saking canggihnya sampai bisa bepergian dan dinas ke luar negeri.
“Saat kuliah, penelitiannya saya tentang kumbang kotoran. Pada tahun 1980-an, Australia bermasalah dengan kotoran sapi karena membuat rumput di peternakannya mati. Akhirnya diimporlah kumbang kotoran dari Sulawesi untuk merombak kotoran menjadi pupuk. Prosesnya lebih cepat daripada fermentasi,” kata Lilik Kundarsetiadi, pria lulusan jurusan Biologi dari bagian Koleksi Hidup Museum Serangga, yang menemani saya berkeliling.
Kumbang kotoran yang punya nama Heliocopris Tyrannus, misalnya, bertugas untuk menggali tanah dan memasukkan kotoran sapi ke dalam lubangnya. Percayalah, yang satu ini punya tangan dan kaki yng kelihatan sekali seperti alat penggali. Kekar, tapi tidak seperti alat untuk menyerang. Ada sekitar 6 ratusan jenis serangga dari seluruh wilayah Indonesia jadi “penunggu” tempat ini. Meski sudah tak hidup lagi, karakter fisik masing-masing serangga dan kemampuan tata pamer kurator museum membuat pengunjung mampu membayangkan kehidupan serangga tersebut di masa-masa jayanya. Misalnya koleksi kumbang gitar (Mormolyce Phyllodes) yang dipajang di batang pohon besar. Selayaknya ia masih hidup. Karena kumbang ini memang menyukai batang pohon besar yang berjamur. Serangga yang termasuk ordo Coleoptera (bersayap perisai) ini hidup sebagai pemangsa serangga kecil, jamur, dan cacing yang ada di tanah. “Kalau merasa terganggu, dia bisa mengeluarkan cairan yang bisa membutakan jika terkena mata,” tambah Lilik. “Kalau kita ke puncak, jalan-jalan ke atas, Gunung Gede Pangrango, kalau beruntung, kita bisa melihat serangga ini.”
Selain serangga-serangga berpenampilan garang, si bagian dalam museum, ada juga serangga cantik dengan berbagai warna yang memukau. Kupu-kupu dan belalang. Di ruangan ini, kupu-kupu juga dipajang berdasarkan pemisahan garis Wallace yang membatasi penyebarannya antara wilayah satu dengan yang lainnya. Hewan-hewan bersayap warna warni ini ditata di atas bidang yang menyerupai peta.
Maulana Cholid, Kepala Museum Serangga, yang menyambut saya dengan ramah di ruang tamu kantor menjelaskan bahwa koleksinya di museum itu belumlah sampai 10 persen dari total keragaman jenis serangga yang sudah di Indonesia. “Yang langka, kita punya 15 jenis dari total 20 jenis. Yang 14 jenis dari keluarga Papilionidae dan 1 jenis dari keluarga Nymphalidae (kupu peri). Kumbang juga kita punya banyak sekali yang langka, tapi belum dilindungi. Khususnya kelompok Lucanidae (kumbang tanduk rusa). Di sini koleksinya ada beberapa jenis, termasuk yang agak susah didapat dari Irian, Cyclommatus Imperator.”
Koleksi yang dimiliki Museum Serangga sejak awal didirikannya berasal dari berbagai sumber. Mulai dari sumbangan LIPI dan Departemen Kehutanan, sumbangan mahasiswa yang mengadakan penelitian, membeli dari kolektor di Indonesia, dan mengambil sendiri di alam. Yang terakhir ini dilakukan oleh tim ekspedisi khusus milik museum. Namun sayang karena ketiadaan dana, tim ini tak eksis lagi.
“Kalau ambil sendiri, kita langsung memberi label keterangan tempat, waktu, dan yang mengambil. Itu pun ada etikanya. Kalau dalam suatu komunitas berhasil menangkap 10, maka yang 8 dilepaskan. Karena ada pertimbangan masalah kelestarian. Ketika berhasil menangkap, tentu langsung dimatikan dengan tata cara. Dengan dipencet bagian dadanya, untuk kupu-kupu. Atau disuntik alkohol 70 persen, untuk kumbang. Ada juga dengan dimasukkan air yang panas. Tapi saya nggak pernah melakukan itu,” tukas pria yang punya latar belakang ilmu entomolgi ini.
Setelah mati, kupu-kupu lalu dimasukkan ke dalam kertas khusus dan dibawa ke laboratorium untuk dibentang sesuai keinginan. Beruntungnya, pengunjung museum ini sanagt dipersilahkan untuk mengeksplorasi sampai ke laboratoriumnya. Tentu saya tak sia-siakan kesempatan ini. Jadilah saya bisa melihat oven, yang menurut Maulana, digunakan untuk mengeringkan serangga. “Serangga dioven selama 2 minggu dengan suhu yang disesuaikan ukuran tubuh serangga. Nanti kalau mau dibentangkan bisa dilemaskan lagi dengan alkohol 70 persen itu.”
Syarat keawetan koleksi, bagi museum yang menghindari penggunaan bahan kimia seperti air raksa atau formalin ini, adalah serangga harus benar-benar kering setelah dioven. Cirinya, kumbang sudah tidak lagi mengeluarkan bau anyir atau bau darah. Sisanya tinggal dirawat dengan menggunakan kamper dan pengaturan suhu yang sesuai. Kelembabannya tidak boleh berubah demi menghindari jamur dan kutu yang bisa merusak koleksi. “Selama ini perawatan kita begitu dan koleksi tetap awet. Tapi ada beberapa koleksi sumbangan yang sudah ada dalam tempat kedap udara yang kualitasnya sangat bagus sehingga beberapa koleksi yang sudah berumur 100 tahun tetap terpelihara.”
Apa yang dipamerkan Museum Serangga memang tak biasa. Unik, menarik, bahkan juga menakutkan. Apalagi ini adalah satu satunya museum yang mengoleksi serangga di tanah air yang samapai saat ini bisa dijadikan rujukan untuk koleksi. Kalau yang dimilki LIPI tertutup karena untuk kepentingan ilmiah. Sedangkan museum ini sifatnya ilmiah populer. Istilah Maulana, “jendelanya LIPI lah.”
Sayangnya, jendela LIPI sekaligus jendela biodiversity-nya Indonesia ini belum dapat penghargaan layak. Pemerintah total melepaskan museum ini dibawah pengelolaan TMII dengan berbagai keterbatasan. Jangankan dana, dukungan promosi juga mesti diusahakan sendiri oleh Maulana yang pernah datang ke Depdiknas untuk mengenalkan potensi Museum Serangga, meski tanpa feedback yang mencukupi. Alhasil, seringnya museum ini sepi pengunjung. Sekolah-sekolah tidak mendapat informasi tentang pentingnya museum ini. Guru yang membawa rombongan murid ke sini biasanya membiarkan muridnya lepas begitu saja berlari kesana kemari. Kesadaran lebih terlihat kalau yang berkunjung sekolah-sekolah tertentu.
“Tanpa bermaksud membedakan, murid dan guru sekolah internasional lebih terlihat apresiasinya. Mereka menggambar, belajar. Anak-anaknya minta diguiding dan mengajukan pertanyaan yang terkait dengan kehidupan serangga. Lebih dari sekedar ingin tahu nama atau mengagumi warna dan bentuk. Mereka penasaran dengan manfaatnya di alam, bagaimana cara hidupnya, dan banyak lagi,” tambah Maulana yang kemudian menunjukkan ruang audio visual untuk menonton film dokumenter dengan didampingi guide.
Dalam keterbatasan itu, toh Museum Serangga tak mau menyerah. Berbekal niat meneruskan tujuan mulia di awal pendirian museum ini, Maulans berkeras mengejar target sesuai dengan yang ditentukan Akuarium Air Tawar. “Kondisi sedikit membaik setelah gabung dengan Akuarium. Pengunjung beli karcis dan bisa sekaligus ke Akuarium, Museum Serangga, dan Taman Kupu-kupu yang juga dibawah museum ini. Mungkin tahun depan kita sudah bisa menata dan menambah lagi koleksi perlahan-lahan.” Harapannya, museum ini bisa dijadikan tempat penelitian. Menurut Maulana, pihaknya menyambut kerjasama. Karena dengan interaksi, Museum Serangga pasti terdorong meningkatkan pengetahuan demi informasi yang akurat dan meluas.
Sjifa Amori
syifamori@jurnas.com
syifamori@jurnas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar