Banyak film membantu menyusun serpihan konsep nasionalisme dan membahasakannya kembali dengan pemaknaan baru yang utuh dan holistik
Meski tidak secara spesifik dijuduli hal-hal yang berbau kebangsaan dan tidak pula secara gamblang bertemakan (berlatar belakang) kisah kepahlawanan atau perjuangan kemerdekaan, banyak film sebenarnya memuat nilai nasionalisme. Bahkan beberapa diantaranya mengupas kompleksitas kegelisahan terkait baik-buruk nasionalisme, ultranasionalisme, hingga fasisme, dengan pendekatan yang artistik, pintar, juga menghibur.
Sebut saja film layar lebar Shinjuku Incident (dibintangi Jackie Chan) yang mengisahkan permasalahan yang dihadapi imigran gelap China di tanah rantaunya di Jepang. Pendatang gelap ini terpaksa hidup tersisih dari masyarakat Jepang dan bekerja kasar secara ilegal. Mereka hidup dalam persembunyian karena tak ingin ditangkan dipulangkan. Secara bersamaan, sutradara Derek Yee juga sekaligus mengungkap dengan blak-blakan persoalan yang dihadapi masyarakat Jepang terkait kedatangan sejumlah besar orang China ke negerinya sehingga menimbulkan persoalan kemiskinan dan kriminalitas baru ditengah-tengah masyarakat.
Shinjuku Incident bukan film-film monoton dengan kandungan politis yang pekat sehingga membuat penonton belajar sebagaimana mereka mempelajari profil sebuah negara-bangsa. Sebagaimana banyak film menarik (baik film festival, independen, atau film bisokop) lain yang menarik yang kebanyakan mengangkat sisi humanisme dan nilai kehidupan yang paling mendasar untuk menggugat dan memosisikan nasionalisme ditengah-tengah masyarakat berbangsa, bernegara, dan masyarakat dunia.
Tema inilah diperbincangkan dalam Pemutaran dan Diskusi Film: Nasionalisme Dalam Film di Bale 9 Jurnal Nasional, mulai Senin (30/11) hingga Jumat (4/12). Ada 6 film dari negara berbeda ikut berpartisipasi dalam acara ini, yaitu Jalur Ke Jepang (Jepang), 12 (Rusia), Lari Dari Blora (Indonesia), Johan Cruijff En Un Momento Dado (Belanda), dan Johnny The Partisan (Italia).
Film 12, misalnya, bisa jadi salah satu contoh menarik dari sebuah film nasionalisme. Berkisah tentang 12 orang juri yang sedang berunding demi memutuskan status salah atau tidak bersalah seorang anak Chechnya. Dengan sentuhan komedi dan artistik yang distorsi kilasan perang masa lalu, sutradara, produser dan sekaligus pemain Nikita Mikhalkov sukses besar membongkar nyaris seluruh persoalan identitas Rusia.
Keseluruhan film adalah mengenai usaha setiap personil 12 juri ini untuk menemukan pembenaran bahwa sang anak tak bersalah. Mereka bereksperimen dengan rekonstruksi pembunuhan dimana keduabelas juri memiliki peranan masing-masing: korban, tertuduh, saksi-saksi, dan penghitung waktu. Kemudian mencari pembenaran logis terkait isu lain, dan memutuskan si anak tak bersalah karena pengalaman pribadi mengenai ketidakberdayaan anak dalam keluarga.
”Melepaskan anak Chechnya yang tertuduh bersalah bisa membuat kesal kebanyakan orang Rusia dan dikhawatirkan bisa membuat komunitas Chechnya di Rusia semakin merasa ”mendapat tempat”,” kata narasumber diskusi yang juga staf Pusat Kebudayaan Rusia Dian Kusumaningtyas dalam diskusi di Bale 9 usai menonton film 12, Selasa (1/12).
Dian mengungkapkan bahwa pengamat film mengatakan kalau nasionalisme Mikhalkov bukan nasionalisme murahan yang kental dengan dengan propaganda elitis tentang kehebatan ras dan kebudayaan. Mikhalkov ingin menyadarkan masyarakat luas tentang pentingnya memiliki identitas mandiri dan terbuka, penuh tanggung jawab dan konkrit yang mengakar pada kehidupan sehari-hari.
”Wajah Moskow kini telah berubah. Nasionalisme tidak hanya terkait dengan pergesekan orang Rusia dengan imigran, namun juga dengan globalisasi,” tambah Eugene Nikitskiy yang diiyakan pula oleh Olga Portnyagina, keduanya merupakan staf Pusat Kebudayaan Rusia.
Seperti yang disampaikan seorang pengamat dan penggiat film Indonesia Yosep Anggi dalam sebuah wawancara dengan Surat Kabar Mahasiswa UGM Bulaksumur di situsnya, bahwa setiap film yang mampu merepresentasikan sebuah bangsa secara proporsional, bijaksana, dan jujur, itu sudah nasionalis. Justru tidak bisa dibilang nasionalis ketika film membohongi penonton. Amerika sedemikian hebatnya membangun nasionalisme mereka melalui film dan media. Menganggap pihaknya menang di Vietnam lewat Rambo dan menang di Pearl Harbour lewat film Pearl Harbour.
”Kejujuran itu lebih penting ketika kita kemudian mengetahui siapa kita melalui media dan film, dari porsi yang jujur juga. Film dokumenter pemenang JAFF-NETPAC (Jogja Asian Film Festival) 2009 dari Thailand berjudul Agrarian Utopia, memiliki gambar yang bagus, tidak pretensius, dan tidak tendensius. Meskipun hanya seperti kamera yang kita taruh di daerah pertanian seperti di Delanggu, tapi film itu kuat sekali, membuat kita kagum pada para petani yang sanggup bertahan. Itu cara menumbuhkan nasionalisme yang proporsional. Akan jadi film yang tidak proporsional, misalnya, jika saat petani mencangkul diberi efek slow motion diiringi lagu You Raise Me Up versi orchestra, dan sebagainya,” kata Yosep.
Sama halnya dengan yang tercermin dalam film Lari Dari Blora. Film berjudul ”seksi” ini, berisi cerminan masyarakat pedalaman Indonedia yang tulus dan tidak penuh dengan nasionalisme propaganda. Misalnya tentang bagaimana masyarakat Samin (masyarakat desa pedalaman yang tidak mengakui hukum Indonesia karena sudah berjalan sebagaimana tradisi desanya saja) bisa menerima buron penjara Blora tanda kecurigaan apa-apa dan tanpa keinginan melapor atas dasar-dasar penghargaan nilai kemanusiaan dan karena memang sang buronan tidak membahayakan.
Sutradaranya, Akhlis Suryapati, mengangkat banyak isu terkait identitas asli masyarakat Samin yang “dibenturkan” dengan sangat halus dengan isu pembangunan Indonesia terkait pendidikan. Karakter film yang khas perihal perbedaan -dalam rahim multikultural- menciptakan atmosfer nasionalisme baru dan terbuka. Nasionalisme yang tidak penuh rasa curiga terhadap pihak lain yang berbeda, seperti yang selalu diajarkan tetua di desa tersebut, Si Mbah (diperankan Rendra).
Apa yang ditanamkan dan dipraktekkan Si Mbah, dipraktekkan pula oleh Johan Cruijff (orang Belanda) sebagai legenda sepakbola Spanyol. Mewakili klub Barcelona (dari suku bangsa Catalan yang tidak mengakui dirinya bagian dari Spanyol dan memiliki dialek atau bahasanya sendiri), Johan yang tidak ikut-ikutan politik justru bisa mengangkat posisi bangsa Catalan yang dipinggirkan di Spanyol.
”Johan main di Barcelona dan berhasil membuat klub itu menang besar setelah sebelumnya sama sekali tak pernah mengukir prestasi. Begitu juga ketika ia pensiun dan menjadi pelatih, ia kembali menjadikan klub itu pemenang,” kata Katinka Van Heeren, peneliti film dan budaya yang mewakili Erasmus Huis dalam diskusi film Johan Cruijff En Un Momento Dado, Kamis (3/12).
Menurut Katinka, berkat Johan yang dianggap pahlawan mereka, posisi dan kebanggaan Catalan justru lebih diakui di stadion sepak bola daripada dalam kehidupan politik. Keunikan Johan yang tidak bergaya selebritis juga membuat banyak orang Spanyol (selain orang Catalan dan tentu juga Belanda) memuja dan mendewakannya. Ia sudah bertindak sebagai politisi yang mengaplikasikan nilai toleransi dan nasionalisme di lapangan dan di seluruh negeri Spanyol. ”Hanya di lapangan bola-lah bahasa Catalan ditolerir dan dihargai. Tanpa disadari, Johan sudah jadi politisi nasionalis.”
Syifa Amori
Tidak ada komentar:
Posting Komentar