Ada memar dan darah dalam presean, tapi juga ada senyum dan pelukan
Suatu sore di pinggir Pantai Kuta Seger, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, deburan ombak laut mendadak ditenggelamkan keramaian sorak sorai massa yang tengah bersuka cita menanti sebuah tontonan paling ditunggu hari itu, Presean.
Presean bukan pertunjukan tradisi biasa yang bersifat tontonan menghibur, melainkan pertarungan serius yang tak jarang melukai pesertanya. Ini adalah kesenian tradisi masyarakat Lombok yang melibatkan mental tangguh laki-laki Sasak.
Mungkin seperti berburu bagi masyarakat Indian untuk menunjukkan kematangan usia dan keberanian kaum laki-laki, Presean pun dilakukan untuk membuktikan kesiapan mental untuk bertarung secara jantan, satu lawan satu.
Nyaris mirip tari-tarian, prosesi adat ini diiringi musik tradisi ale-ale yang dimainkan secara langsung oleh pemain musiknya. Dilangsungkan dalam lingkaran massa yang berhimpitan tak sabar menunggu dimulainya pertandingan, Presean melibatkan dua orang petarung (pepadu), dua orang wasit pinggir (pakembar sedi), dan seorang wasit tengah (pakembar)
Uniknya, Presean bukanlah sebuah pertandingan yang terencana. Artinya, pepadu secara langsung dipilih wasit dari penonton yang berada diantara sesaknya lingkaran arena. Kalau pakembar yang satu sudah menyentuhkan ujung rotannya di tubuh penonton yang ia inginkan, maka pakembar lainnya mesti mencari tandingan yang sesuai di sisi lainnya. Biasanya proporsi tubuhlah yang disesuaikan, disertai dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang hanya difahami kedua wasit ini hingga akhirnya sama-sama merasa cocok dan saling mengiyakan.
Kalau sudah setimpal, penonton yang dipilih akan segera melepas pakaian. Bertelanjang dada, keduanya turun ke arena dengan wajah sumringah, antara penasaran, tertantang, dan juga sedikit ngeri. Mengenakan ikat kepala (sapuk), pepadu ini kemudian dipersenjatai sebilah rotan di tangan kanan dan perisai (ende) di tangan lainnya.
Meski situasinya menegangkan, bunyi-bunyian musik karawitan khas Lombok mencairkan suasana. Apalagi, wasit dan para tetua yang memimpin pertunjukan tak henti-hentinya bergoyang mengikuti irama musik. Dengan ikat kepala dan kaca mata hitam di wajah, tarian wasit yang sangat santai ini juga jadi hiburan dikala menunggu persiapan petarung.
Presean tidak mesti semenegangkan kedengarannya. Pasalnya, pesertanya tak selalu yang berpengalaman. Sebut saja sore ini, Rabu (3/3), Presean justru banyak diramaikan petarung-petarung amatiran. Anak remaja yang sekedar ingin adu nyali karena terdorong rasa penasaran.
Hasilnya, beberapa adegan kocak pun hadir makin meramaikan suasana. Seperti lawan yang jatuh terjengkang hingga ada pula yang lari terbirit-birit karena tak kuasa lagi menjawab serangan rotan musuhnya yang jauh lebih tangguh. Direkam dalam media video oleh para turis asing, tontonan ini memberikan kenangan tersendiri yang takkan mungkin terlupakan. Sebuah kisah pendek yang seru di pinggir pantai Seger Kuta.
Presean adalah warisan budaya turun menurun bagi masyarakat lokal. Dalam situs www.lombokbaratkab.go.id, dikatakan bahwa di Era 1980-an, Presean seringkali digelar guna menyemarakkan hari-hari besar nasional seperti 17 Agustus, hari ulang tahun suatu daerah, ataukah gawe suatu desa. Presean merupakan permainan rakyat yang dilakukan secara turun-menurun dan menuntut keberanian serta ketangkasan para pepadu yang bertanding.
Ada pula kisah yang menyatakan bahwa Presean merupakan ritual memohon hujan bagi masyarakat Sasak ketika kemarau panjang. Dalam perkembangannya, ia kemudian-sekaligus berfungsi sebagai hiburan yang banyak diminati yang tak jarang mulai sering dilombakan.
Disamping sebagai olahraga seni, Presean sarat akan beberapa nilai, seperti nilai pendidikan dalam membangun solidaritas, obyektivitas, dan kejujuran. Hal ini bisa terlihat sejak dimulainya pertandingan, dimana para pepadu yang bertanding diminta kesepakatannya, barulah bisa dilaksanakan pertandingan. Demikian pula manakala pertarungan sudah usai, para pepadu saling berangkulan dan bersalaman walaupun salah satu mengalami luka dan mengucurkan darah.
Meski berdarah-darah, Presean jauh dari kesan horor atau sarat kekerasan. Apalagi, pepadu tak jarang juga meliukkan badan mengikuti irama musik ale ale setelah beberapa detik berjibaku dengan rotan panjang lawannya. Penonton takkan terlalu lama dipaparkan adegan pukul memukul karena wasit akan segera melerai jika serangan sudah semakin tak terkontrol. Detik itu pulalah, baik pepadu maupun pakembar, dengan bersamaan mempertunjukkan gerakan tarianya masing-masing yang memukau dan tak jarang mengajak penonton yang tegang turut pula bergoyang.
Diantara suara musik yang menyihir, sorak sorai penonton yang menyemangati, serta hembusan angin pantai yang lembab, pepadu seperti semakin bergarah terlibat dalam adu rotan -yang mungkin terasa lebih menakutkan jika dilakukan dalam biasa saja.
Suasana yang agak sedikit menyihir ini, rupa-rupanya membangkitkan sisi jantan peserta untuk menunjukkan pada penonton seberapa lihai dirinya memainkan rotan sepanjang dua meter dan ende (dari kulit lembu atau sapi yang dikeringkan) itu untuk menyerang sekaligus melindungi diri dari sabetan rotan di kulit telanjang mereka.
Pertarungan ini takkan berhenti hingga salah seorang petarung berhasil melukai bagian kepala lawannya. Khususnya sampai meneteskan darah segar agar dinobatkan sebagai pemenang. Hanya saja, dalam prakteknya, banyak dari peserta yang sudah kalah telak, karena tak mampu melawan, menyerah, atau karena melanggar aturan -termasuk memukul tubuh bagian pinggang ke bawah lawannya. Belum lagi, ada beberapa petarung yang hanya sekedar pamer atau bercanda-canda di arena tanding sehingga dikeluarkan dengan tidak hormat oleh petugas yang menjaga ketertiban.
Walaupun ketangkasan dan kelincahan gerak menjadi kunci bagi pepadu untuk memenangkan pertandingan, seringkali mereka bertarung bukan untuk menang semata, melainkan menambah pengalaman dan tentu saja kebanggan. Apalagi, kelihatannya dalam Presean kali itu, semua pemain mendapat amplop berisi honor yang cukup lumayan karena telah turut partisipasi.
Diberikan amplop oleh kordinator pertandingan sambil menari-nari, pepadu yang tengah rehat diantara kerumuman tersenyum lebar. Matanya berkilat senang menyiratkan kondisi laju adrenalinnya setelah apa yang ia alami barusan.
Sambil masih terhanyut dalam serunya aksi yang mereka persembahkan barusan, para pepadu ini akan mendapatkan perlakuan atau perawatan dari wasit. Punggung dan kulit tubuh lainnya yang memar dan berdarah akan diusap-usap sedemikian rupa.
“Kabarnya, perlakuan ini disertai doa sehingga lukanya akan cepat sembuh dan tidak begitu menyakitkan,” kata Fitrina Ulfa yang datang dari Praya bersama suaminya untuk menonton Presean di Pantai Kuta. Suami Fitri rupanya juga pernah ditunjuk wasit untuk ikut berlaga saat datang menonton sebelumnya.
Bisa jadi karena kesaktian sang pakembar, atau pengaruh suasana, pepadu yang sebagian besar berdarah muda itu tetap kelihatan sumringah hingga pertandingan selanjutnya. Terlebih, seusai tanding, kedua pepadu selalu berpelukan tanda persahabatan.
Syifa Amori
Tidak ada komentar:
Posting Komentar