Pichet membuat bentuk tarian Khon yang penuh keterbukaan untuk dicintai masyarakat Thailand dan internasional
“I am a dancer. Why I become a dancer? It is quite a long story. You want to know?,” Pichet Klunchun bertanya sambil pasang raut muka yang membuat penasaran. Bahasa Inggrisnya yang terartikulasi jelas dan pilihan kata sederhana membuat penonton menyimak kisah penari asal Thailand ini. Perlahan dan cenderung tanpa disadari, peranan vokal dalam penceritaan ini pun tergantikan dengan bahasa gerak Pichet.
Ketika Pichet beranjak pada tarian tradisional -yang kini sudah jadi satu paket dengan industri turisme Thailand- seniman tari lulusan Fine and Applied Arts Faculty, Chulalongkorn University ini mulai mentransfer kekuatan unsur teks-nya ke dalam pesona visual gerakan dasar tari klasik Khon.
Khon memediasi terpaparnya penonton oleh kepiawaian olah tubuh Pichet. Khon juga yang menjadi “pakaian” Pichet siang itu, Kamis (6/8), di GoetheHaus sehingga menjadikannya sangat mempesona. Pichet sengaja hanya mengenakan kaus oblong hitam yang pas di tubuh dan celana selutut berwarna hitam pula dalam membawakan lakon “About Khon”. Dengan kesederhanaan itulah justru kesejatian Khon memancar dengan luar biasa.
Khon adalah drama tari tradisional Thailand yang melakonkan kisah sejarah yang terjadi lebih dari 600 tahun lalu. Tema tarian Khon didasarkan pada sastra epik Ramakien, yaitu versi Thailand dari epik India Ramayana.
Meski muatan sejarah, seni, dan budaya dalam Khon sangat kompleks, Pichet berupaya merefleksikannya kembali dengan sederhana. Spesialisasinya memerankan karakter iblis(yak) –karena postur yang tinggi dan atletis- tidak jadi hambatan baginya membawakan beberapa gerak karakter lain; perempuan (nang); laki-laki (phra); dan bahkan kera (ling) dengan sangat meyakinkan.
“Saya tidak ahli memerankan kera,” kata Pinchet setelah menirukan gerakan kera yang menggaruk-garuk punggung. Setelah tawa spontan penonton, Pinchet menjelaskan bahwa kakinya yang panjang akan menjadikannya kera yang buruk. Ada sudut ketinggian tertentu dari lutut yang dibengkokkan dari tiap karakter, dan kera-lah yang paling rendah. “Saya takkan bisa mencapainya. Makanya dalam Khon, postur penari menjadi milik karakternya.”
Khon, dalam pertunjukan sebenarnya, menandai karakter dengan kostum, khususnya topeng yang jelas mendeskripsikan karakter si pemakainya. Untuk melihat Khon sebagai bagian identitas Thailand, estetika pertunjukan seni tentu tak bisa dilepaskan. Berbeda halnya dengan yang dibawakan Pichet, yaitu Khon sebagai filosofi kultural Thailand.
“Saya hanya ingin menari dulu, bukan menampilkan pertunjukan seni dengan topeng, kostum lengkap, dan musik. Saya ingin memberikan appetizer sebelum orang menonton Khon yang utuh. Karena sekadar mencicipi, orang justru harus mulai mengenal rasa Khon di sini. Yaitu dengan melihat detail gerakannya, memahami filosofinya, dan menikmati harmonisasi gerakan tubuh penarinya. Ini hanya bisa terlihat jika saya mengenakan pakaian minim. Dengan kostum, anda sulit membedakan gerakan otot dan karakter olah tubuh keempat karakter,” kata Pichet dalam Audience Talk pasca pertunjukannya yang merupakan bagian program Regional Dance Summit “Transforming Tradition”.
Betul saja, dengan Pichet sebagai peraganya, gerakan perempuan dalam tarian Khon terungkap jelas secara visual dan tereksplorasi pula maknanya. Adalah perempuan yang paling minim gerakan. Ia teramat gemulai. Jika mengangkat tangan (dengan telapak menghadap keluar), karakter perempuan memposisikannya sederajat dengan mata. Tidak setinggi laki-laki yang sejajar alis, dan iblis yang sejajar dengan kening. Kera, tentu saja berbeda, posisi tangannya lebih sering berada sejajar perut.
Seperti juga Pichet menyatakan ketertarikannya pada adegan perempuan menangis, ia bisa memperlihatkan terang-terangan kaidah dan nilai tiap gerakan karakter perempuan yang ditinggal mati keluarganya. Mulai dari adegan duduk dengan anggun dan gelengan dagu yang menandai kondisi rileks sang karakter perempuan hingga shock yang tergambar dengan satu kali lonjakan bahu yang samar. Lalu Pichet menoleh kebelakang sebagai penanda bahwa si perempuan tak ingin kepedihan hatinya tampak oleh orang lain melalui wajahnya. Setelah menguasai diri, ia kembali menghadap penonton dan menggunakan jarinya dengan gerakan lentik untuk menghapus airmata hingga tiga kali. Pada gerakan ketika, airmata dipercikkan keluar dengan tarian jari yang anggun.
Jika sebagai perempuan saja. Pichet sangat piawai membawakannya, apalagi sebagai iblis yang memang biasa ia lakonkan. Untuk memamerkannya, Pichet menunjukkan tarian kearoganan khas iblis yang tak bisa mati meski tubuhnya luluh berantakan diserbu anak panah Rama. Sambil menari congkak dan bertepuk tangan, Pichet pun berkata, “tangan dan kaki saya kembali. Rama, kamu tidak ada apa-apanya.”
Frekuensi demonstrasi tarian Pichet yang sesekali sebenarnya sudah sangat bersuara, namun ia menyempurnakannya dengan teks. Ia memberi sentuhan humor dan membuatnya lebih rileks dengan celetukan yang lucu saat membandingkan filosofi dalam tiap gerakan Khon dengan koreografi dinamis yang cenderung menghabiskan tenaga saja daripada memaknai dengan nilai filosofis.
Meski seperti kuliah yang sangat unik, secara keseluruhan, Pichet sebenarnya telah memperlihatkan wujud tari kontemporer baru di atas panggung. Tari kontemporer ini mengambil dasar tradisi yang “dibedah” dengan mewah dalam balutan kontemporer. Sambil berusaha mengajak penontonnya berimajinasi lebih berani tentang dunia Khon, Pichet sebenarnya sekaligus berusaha membawa kembali tradisi klasik ini dalam kehidupan masyarakat modern.
Regional Dance Summit “Transforming Tradition” yang terselenggara di GoetheHaus mulai Rabu (5/8) hingga Sabtu (8/8) melibatkan koreografer, jurnalis budaya, direktur lembaga bidang tari, staf Goethe-Institut, juga ahli bidang tari dari Jerman dari 10 negara (Selandia Baru, Australia, Indonesia, Singapur, Malaysia, Thailand, Kamboja, Vietnam, Filipina dan Jerman) yang akan membangun jejaring tari profesional TANZCONNEXIONS di Asia-Pasifik dan Eropa. Jejaring ini bertujuan mendapatkan pandangan baru dalam dunia tari di negara yang saling bertetangga tersebut dengan menawarkan pengalaman historis dan tradisi kultural yang beragam. Juga berbagi informasi terbaru mengenai dunia tari Eropa dan meluaskan pengetahuan tradisi serta perkembangan mutakhir tari kontemporer.
Sebelum kehadiran Pichet, ada Donna Miranda (seniman tari asal Filipina) yang menyajikan koreografi tarian kontemporernya yang memenangkan Penghargaan Juri pada Yokohama Dance Collection-R Solo X Duo Competition di Yokohama, Jepang, tahun 2007. Pertunjukan yang dijuduli Beneath Polka-Ditted Skies ini adalah tarian solo yang mendeskripsikan perasaan takut, khawatir, frustasi, dan asing, dalam dunia yang penuh ketidakpedulian saat seseorang melakukan “perjalanan”.
Beneath Polka-Ditted Skies menjadi pertunjukan tari pertama yang dipentaskan di GoetheHaus hari itu dilanjutkan dengan About Khon (premier oleh Pichet sendiri tanpa melibatkan rekan koreografer Prancis Jerome Bel), premier From Betamax to DVD (Jecko’s Dance Company), dan diakhiri dengan premier tari kontemporer Colours from the Inner Earth (oleh koreografer Fitri Setyaningsih).
Syifa Amori
Tidak ada komentar:
Posting Komentar