Lewat jalinan kisah Cebolang, Dalang Slamet Gundono telah menyihir suasana perayaan Art Summit Indonesia (ASI) VI di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) menjadi sebuah perjalanan mimpi yang tak berbatas.
Bersama Cebolang, penonton diajak menyelam bersama Werkudara ke dalam samudera yang dalam, memasuki telinga Dewa Ruci (pencarian jati diri Werkudara atau Bima) dan melihat gonjang ganjing dunia, hingga ia menangis karena tak percaya lagi pada kebaikan.
“Semua penonton menangis, Cebolang meneteskan air mata. Dalang sesenggrukan, pemain musiknya menangis, sindennya lupa menyanyi dan malah tersedu-sedu. Tukang rokok ikut bersedih, yang main judi bubar. Semua ikut bersedih dengan tangisan Werkudara. Tokoh wayang yang juga dikenal sebagai Bima ini urung kembali ke dunia fana yang penuh dengan kemunafikan. Namun sang Dewa Ruci menegurnya: ‘Werkudara... Urip kui kaya tanaman werkudara malah kadang disemprot pestisida... Kaya tanaman...,’” dan sang dalang pun menembang dengan ukulele yang digantungkan di lehernya.
Bersama Cebolang juga penonton diajak menyaksikan kelucuan tokoh Among Trusta (diadaptasi menjadi Parto) yang memainkan penggalan lakon Kumbayana dengan begitu menggelitik sambil tetap mengedepankan nilai-nilai soal menepati janji dan tak asal obral omongan pada rakyat. Yaitu ketika Kumbayana terpaksa menikahi kuda betina karena telah bersumpah akan meminang perempuan yang bisa membantunya menyeberangi lautan luas untuk menuju Jawa.
Dalang Slamet Gundono, bersama Komunitas Wayang Suketnya, memang membawakan kisah Minggatnya Cebolang (penggalan fragmen Serat Centini), namun ia tak menjabarkannya dengan “telanjang” dan hampa. Pentas malam itu adalah sebuah perwujudan dari pertunjukan multi-dimensi yang berlapis-lapis, dan karenanya, terasa sangat kaya dan memanjakan setiap indera.
“Saya memang memilih untuk keluar masuk antara adegan meditative dan yang stimulatif, karena Cebolang memang bukan sebuah karya sastra yang datar. Ketika ini harus dipanggungkan, maka tantangannya bagi saya adalah memvisualisasikannya dengan menarik tanpa kehilangan lapisan-lapisan perjalanan sufinya yang berbarengan dengan perjalanan nafsunya yang sama-sama ekstrim. Maka saya harus mengontrol emosi untuk menciptakan suasana yang berganti dengan cepat ini,” kata Slamet Gundono ketika ditemui dibelakang panggung usai pementasan di GKJ, Rabu (8/10).
Cebolang yang minggat dari rumah dan terpuruk dalam godaan duniawi dengan mengumbar hasrat seksual digambarkan menemui berbagai guru terhormat dan kyai, hingga orang buruk rupa, yang mengajarkannya banyak hal soal kehidupan.
Cebolang terus mengembara mencari jati diri sambil menjalani carut-marut kehidupan. Sampai dia melampiaskan nafsu syahwatnya dengan ronggeng, janda suci, bahkan dengan penari reog. Akhirnya dia bertemu dengan seorang petapa suci yang mengajarinya kisah Dewa Ruci hingga ia menemukan tuhan dan jati dirinya.
“Tentu kami tidak mementaskan keseluruhan kisah Cebolang, karena durasinya akan menjadi terlalu panjang. Makanya kami banyak diskusi, dan Slamet juga terus membaca untuk memilih dengan cermat adegan mana yang akan ia angkat dan yang dipotong,” kata Elizabeth yang sepanjang pertunjukan duduk mendampingin Slamet sambil sesekali membacakan dengan lembut teks-teks sastrawi Serat Centini yang diadaptasinya.
Sambil mengisahkan perjalanan Cebolang, panggung juga menampilkan pentas sederhana tentang kisah di sebuah rumah dengan tirai, kasur, bahkan portal yang dijaga seorang hansip.
Di saat yang sama pula, Slamet Gundono yang mementaskan fragmen petikan dari Serat Centini adaptasi Elizabeth D. Inandiak (wartawan Prancis yang telah lama mendalami kebudayaan Indonesia) juga menampilkan sebuah pertunjukan musik yang dibawakan sepenuh jiwa dengan menghadirkan nyanyian hati yang kadang pilu, bersemangat, penuh canda, dan kadang begitu penuh amarah.
Dalam menampilkan musik ini, sang Dalang kreatif yang bertubuh tambun ini tak pernah kehabisan ide menarik perhatian penonton dan menaikkan mood. Ia kerap menembangkan puisi-puisi yang menjadi narasi dan dialog-dialog Cebolang diiringi gamelan yang dimainkan begitu kontemporer. Begiotu juga wayang suketnya, Dalang Slamet Gundono menjadikan apa pun sebagai wayangnya. Mulai dari wayang kulit, batu, aktor lain, hingga dirinya sendiri menjadi wayang yang “digerakkan” penceritaan sang dalang.
Wajar kalau Minggatnya Cebolang sering terasa keluar masuk antara absurditas dan realitas, modernitas dan tradisionalitas, terang dan samar-samar. Namun, dengan sangat jenius ia meramu semua unsur ini begitu harmonis sehingga enak dinikmati, memukau hingga akhir lampu panggung dipadamkan.
Sambil menghipnotis dengan aksi multidimensinya, Slamet sangat berhasil mentransfer nilai yang ingin disampaikannya lewat lakon tersebut, meski bahasa verbalnya terbilang sulit difahami.
Pementasan Wayang Suket Minggatnya Cebolang masih merupakan rangkaian kegiatan Art Summit VI 2010, yaitu sebuah Festival Internasional seni pertunjukan kontemporer yang digelar di Jakarta sejak 4 Oktober hingga 24 Oktober mendatang. Ajang internasional yang diselenggarakan oleh Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata ini juga akan menampilkan 11 grup musik, teater, dan tari kontemporer kondang dengan reputasi nasional hingga internasional dari Korea Selatan, Jerman, Amerika Serikat, Austria, Belanda, dan tentu saja dari Indonesia sebagai tuan rumah.
Syifa Amori
Tidak ada komentar:
Posting Komentar