Perkembangan seni keramik yang sedemikian “galak” sudah sepatutnya terus diikuti perhatian dan apresiasi publik
Mendengar kata keramik, secara tradisional pasti akan terpikirkan barang-barang pottery, yaitu kerajinan dari tanah liat yang membuat pot, vas, mangkuk, piring, dan berbagai hiasan atau pun benda fungsional lainnya. Lalu, kemanakah imajinasi akan melayang begitu keramik disandingkan dengan kata “kontemporer”. Selain terbersitkan keramik dalam konteks seni rupa, tentu juga ada pertanyaan besar, bagaimanakah “perwajahan” dari seni rupa keramik kontemporer ini.
Pameran Jakarta Contemporary Ceramics Biennale #1 (JCCB #1) yang di Galeri North Art Space di Pasar Seni ini dibuka sejak Sabtu (19/12) lalu ini mencoba merespon keingintahuan itu dengan mendisplay karya dari sekitar 40-an senimankeramik dalam dan luar negeri. Berlangsung hingga 20 Januari 2010 mendatang, pameran berskala internasional ini memiliki peran utama sebagai wadah sekaligus media untuk mengangkat seni keramik ke ruang publik. Pada kelanjutannya tentu saja menghadirkan potret perkembangan seni keramik kontemporer.
“Sebelumnya, seniman keramik lebih serang berpameran bersama-sama dengan perupa lainnya. Kalau pun ada pameran khusus keramik, tapi tidak terlalu besar. Dengan adanya pameran yang berskala internasional seperti ini, persoalannya jadi semakin terbaca. Kita jadi tahu bahwa secara artistik-seni karya seniman keramik lokal ternyata bersaing dengan luar negeri,” kara kurator JCCB #1 Rifky Effendy saat diwawancarai, Jumat (8/1).
Apa yang diutarakan oleh Rifky ini, bisa terefleksi ketika memperhatikan karya-karya yang dipamerkan di sana. Sebutlah seniman keramik Albert Yonathan Setyawan dengan karyanya Horizon (colored clay, glazed, decals Variable dimension, 2009) dan Tranquility (Stoneware glazed, decals variable dimension, 2009).
Kedua karya Albert ini memberikan efek ”kesederhanaan” yang menyejukkan, khususnya dalam hal pewarnaan dan bentuk yang mengharmonisasikan figur-figur tertentu. Yaitu figur yang selama ini mungkin ”ditangkap” awam sebagai simbol pembawai damai, seperti figur-figur mirip malaikat bersayap atau hewan-hewan yang menjadi tanda dari ”kebijaksanaan” dan ”kebajikan” alam, semisal ikan.
Detail karyanya yang sesungguhnya tidak terlalu kompleks, namun terlihat istimewa berkat dukungan gaya repetisinya. Alhasil, muncul kesan seolah karya ini bangkit dari sebuah konsep minimalis yang tetap berbobot.
Dalam catatan mengenai Albert, dikatakan bahwa karya Albert mengeksplorasi idenya dalam perwujudan tubuh dan eksistensi manusia. Karenanya, karyanya seolah mempertanyakan keterkaitan antara manusia, hewan, tumbuhan, atau juga kombinasi dari kesemuanya. Metode repetisinya yang disajikan dalam format geometris seperti lingkaran atau segitiga dimaksudkan untuk mengemukakan renunangan sang seniman; kontemplasi dan spiritualitasnya, struktur dan ketenangannya, juga kesendirian sekaligus kebersamaannya.
”Secara wacana dan eksplorasi artisitik, seniman Indonesia sama sekali tidak ketinggalan, namun akan tetap sulit untuk terus menyamain kemajuan seniman luar negeri yang terdukung secara infrastruktur. Mereka menang dalam hal teknologi sehingga memungkinkan penggarapan teknis tanpa berbatas, begitu juga soal realisasi ide, lebih besar kemungkinannya,” kata Rifky.
Awalnya keramik lebih sering didefinisikan sebagai suatu hasil seni dan teknologi untuk menghasilkan barang dari tanah liat yang dibakar, seperti gerabah, genteng, porselin, dan sebagainya. Tetapi saat ini tidak semua keramik berasal dari tanah liat. Definisi pengertian keramik terbaru mencakup semua bahan bukan logam dan anorganik yang berbentuk padat. Perkembangan teknologi juga makin memungkinkan ketiadabatasan penggunaan media dan pengolahan sehingga seniman makin bisa memaksimalkan kreativitasnya. Sayangnya ini lebih banyak terjadi di dunia internasional, ketimbang di dalam negeri.
Beberapa seniman luar negeri yang terlibat dalam pameran dan bisa jadi sedikit gambaran perkembangan seni keramik internasional adalah perupa Ahmad Abu Bakar (Singapura), Ahmad Roslan dan Umibaizurah Mahirismail (Malaysia), Krisaya Leunganantakul (Thailand), dan Hadrian Mendoza (Philipinnes).
Dalam pengantar kuratorialnya, Rifky mengatakan bahwa hingga muncul revolusi industri di Eropa, keramik mengalami industrialisasi, tetap diproduksi untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Seperti industri ubin, perlengkapan domestik hingga teknologi. Begitu pun dengan benda-benda seni maupun dekorasi, keramik masih tetap mendapat tempat. Dalam budaya masyarakat di Asia, keramik mempunyai tempat yang lebih luas bahkan dalam beberapa hal sangat penting, berkaitan dengan fungsi maupun ritual . Hal ini juga mencerminkan bahwa ketersediaan bahan tanah lempung dan bahan lainnya menjadi salah adanya budaya keramik. Alih-alih bahwa bagi beberapa budaya, seperti China, Persia, Jepang , keramik telah menyatu dalam kehidupan masyarakat sebagai suatu bagian identitas budaya mereka.
Sementara di dalam negeri, seniman yang konsisten pada jalurnya tetap berusaha berkembang dalam keterbatasan. Misalnya adalah bukti karya yang mengkreasikan keramik menjadi sebuah seni instalasi, ketimbang hanya melulu menyempurnakan teknik yang tidak terdukung oleh teknologi memadai. Dalam bingkai seni instalasi ini, keramik kemudian tidak menjadi objek semata, tapi juga media dalam terciptanya karya baru, instalasi tersebut.
Misalkan saja karya Ting* (stop motion animation with porcelain tableware single channel video with tableware installation, 2008). Karya ini berbentuk sebuah lemari gelas yang seolah-olah tengah “menumpahkan” tumpukan koleksi gelas, tatakan, dan piring porselennya. “Tumpahannya” yang dimiripkan dengan karakter genangan air yang terus mengalir di lantai -dalam bentuk jejak-jejak gelas dan piring porselen- akhirnya berhenti di satu titik tertentu berupa tumpukan porselen tersebut. Di atas lemari kayu juga diletakkan televisi yang layar kacanya menampilkan tumpukan alat-alat makan pecah-belah tersebut.
Meskipun karya porselennya sendiri tidak menampilkan kebaruan ide, karena berupa alat-alat makan pada umumnya, tetapi karya dari Tromarama ini menampilkan sebuah konstruksi seni rupa instalasi yang baru dan berdiri sendiri secara utuh. Ini barangkali bisa dianggap sebagai salah satu bentuk dari seni keramik kekinian –kontemporer.
“Bagi kami, seni adalah taman bermain, tempat dimana kita bebas berimajinasi. Kami suka membayangkan benda-benda keseharian bisa bergerak seolah mereka bernyawa. Ini makanya kami suka memakai teknik stop-motion. Ting* seperti berusaha mengubah sesuatu menjadi sesuatu yang lain dan tidak seharusnya. Bahkan hal terkecil dan paling tidak diperhatikan pun bisa memiliki cerita,” ujar sang seniman, seperti yang diungkapkan di katalog pameran. Tromarama terdiri atas tiga seniman, Ruddy Alexander Hatumena, Herbert Hans Maruli, dan Febie Babyrose.
Karya yang brilian ini, ditata sedemikian rupa sehingga menampilkan kemiripan “gerak” dengan langkah kaki anak-anak yang sedang mengendap-endap berusaha kabur dari tempat dimana mereka seharusnya sedang berada karena ingin berkumpul dan bermain di luar.
Asmudjo Jono Irianto, yang juga mengkuratori JCCB #1, kemudian berusaha menjelaskan gejala kecenderungan artistik ini dalam pengantar kurasinya. “Beberapa tahun terahir ini cukup banyak seniman keramik yang bisa meleburkan ke dalam medan seni rupa kontemporer. Agaknya dorongan untuk mencari alternatif dari seni lukis dan media baru, membuka peluang bagi para seniman keramik untuk masuk dalam wilayah produksi dan konsumsi seni rupa kontemporer. Nama-nama seperti F. Widayanto, Titarubi, Nurdian Ichsan, Lie Fhung, Albert Yonathan, Nadya savitri, Noor Sudiyati, Tisa Granicia, Endang Lestari merupakan nama-nama yang juga tercatat dalam medan seni rupa kontemporer Indonesia,” kata Asmudjo.
Selain nama-nama tersebut, lanjut Asmudjo, beberapa seniman keramik dalam bienal ini memang muncul dengan semangat studio keramik mandiri, tanpa terlalu peduli pada fenomena seni rupa kontemporer. Ada Evy Yonathan, Ivan, Ika Burhan, dan Ira Suryandari, yang mewarisi semangat ketangguhan seniman keramik mandiri.
”Dalam beberapa hal sosok mereka mengingatkan semangat “truth to the material” ala contemporary craft. Menariknya, beberapa dari mereka mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan keramik hanya dari kursus keramik. Barangkali justru karena itu, sebagai under-dog, mereka memiliki semangat militan.”
Militansi sepertinya memang perlu bagi para seniman keramik ini untuk terus survive, berkembang, dan bersaing. Ini, menurut Rifky, merupakan tantangan yang menimpa seniman keramik di seluruh belahan bumi. Hanya saja bentuk kendalanya agak berbeda. Katakanlah, di Eropa, sebagai basis dan akar seni lukis, seni keramik jelas menjadi marjinal, meski tetap berkembang dalam ”kotaknya” sendiri. Perkembangan ini, seperti yang diungkap sebelumnya, adalah berkat infrastruktur yang mendukung para seniman di luar negeri untuk berkreasi dan bereksplorasi.
Sedangkan di Indonesia, perkembangan justru dihambat infrastruktur, meskipun tiada pengkotakkan wilayah khusus bagi seni keramik, sehingga akan lebih mudah bagi senimannya untuk bergerak.
Sesuai dengan yang diutarakan Rifky dalam wawancara, ”Di Indonesia, seni rupa tidak establish sebagai wilayah khusus, menyebabkan seniman keramik kontemporer di Indonesia tidak berhadapan secara diametrikal dengan seni rupa kontemporer. Karena itu mudah saja bagi seniman keramik di Indonesia menjadi bagian dari seni rupa kontemporer. Hal ini di antaranya disebabkan pula belum establish-nya infrastruktur seni rupa kontemporer di Indonesia, sehingga kebutuhan dan kecanggihan untuk melakukan dan membenarkan eksklusi terhadap praktek seni rupa yang tidak sejalan dengan paradigmanya (misalnya: seni keramik) boleh dikatakan tak terjadi.”
Syifa Amori
Tidak ada komentar:
Posting Komentar