Selasa, 30 Maret 2010
Pulau Ideal Untuk Terdampar
Di kepulauan Gili, suara alam terdengar lebih membahana, jelas, dan tegas
Pemandu snorkling itu meliukkan badannya menyelam lebih jauh ke dasar laut yang menggelap untuk menunjukkan penyu yang tengah berdiam diantara terumbu-terumbu karang.
“Lihat nggak penyunya?” tanyanya sambil meraih tangan salah satu peserta untuk ikut menyelam lebih jauh. Sayang, tidak semua orang punya kemampuan berenang di kedalaman lau yang lebih ekstrim sehingga sang pemandu pun hanya menunjuk arah dengan telunjuknya.
Agak susah melihat penyu itu, karena kondisi laut dengan dasar yang lebih dalam sehingga warna airnya yang biru jauh lebih gelap dibanding dengan air laut di wilayah yang lebih padat terumbu karang dan ikan warna-warni.
Di titik perhentian ini, yaitu di kitaran pantai Gili Meno, Lombok, tim snorkling yang berangkat dari Gili Trawangan memang beberapa kali diwanti-wanti untuk fokus mengikuti arah pemandu berenang. Lautnya yang dalam membuat pemandu ikut turun dan mengawasi agar jangan sampai ada terpisah karena terlalu fokus mengikuti atau mencari penyu.
Penyu memang daya tarik tersendiri di wilayah pantai tiga Gili; Trawangan, Meno, dan Air. Bukan cuma sebagai tontonan, penyu seperti sudah jadi bagian dari kehidupan yang mendapat perhatian dan penghormatan sebagai makhluk yang layak hidup tenang di indahnya alam lautan. Seperti yang tercermin dari tulisan yang terpampang di Pusat Konservasi Penyu di Gili Trawangan, Nusa Tenggara Barat:
”Jangan pegang atau angkat penyu ini. Do you like STRANGERS touching you? Neithers do Turtles! Please, show respect to ALL the locals”
Pusat Penangkaran Penyu Ini adalah sebuah proyek loka untuk membantu menyelamatkan generasi penyu. Penyu-penyu dipelihara selama setahun hingga kemudian dibebaskan kembali ke laut bebas setiap dua tahun sekali. Di pantai tepat di depan penangkaran ini juga ada patok-patok yang menandai keberadaan penyu jika ingin snorkling sendiri. Kabarnya, penyu-penyu ini takkan terlalu jauh berpindah-pindah tempat dari patok yang menandai lokasi hidupnya.
Konservasi Penyu ini berupa tempat mirip pendopo yang besar di pinggiran salah satu titip pantai Gili Trawangan dengan atap tinggi yang bergaya khas rumah tradisional Sasak Lombok –ditopang pilar-pilar kayu besar dan beratap jerami. Di dalamnya, ada tiga kolam yang serupa bak mandi raksasa (dengan dasar keramik) berdinding kaca. Kolam-kolam inilah yang menjadi tempat tinggal sementara berbagai jenis penyu yang hidup di Gili. Setiap kolam berisi penyu yang dipisahkan sesuai umur masing-masing. Ada kolam berisi bayi penyu dan ada yang berisi penyu muda.
Pusat penangkaran ini dibangun sejak tahun 2009 dengan bantuan PT Garuda Indonesia (Persero), namun perintisannya sudah dimulai sejak tahun 1995 oleh seorang warga lokal, Zainuddin, menggunakan dana pribadinya. Zainuddin juga memiliki bungalow tepat di seberang pusat penangkaran penyu tersebut.
“Biasanya di akhir tahun dan penyunya sudah cukup besar, akan ada pelepasan ratusan penyu bersama-sama di pantai Timur Gili Trawangan. Kalau ada yang sakit biasanya saya rawat khusus dan dipisahkan. Saya bawa dan rawat di rumah saya di Mataram agar yang lain tidak tertular,” kata Zainuddin yang mengatakan pusat penangkarannya tiap tahun menghasilkan ratusan penyu dengan cara membeli dari nelayan dan pedagang. Pusat penangkaran ini juga sering dibantu oleh donasi wisatawan.
Selain penyu, salahs eorang pemandu snorkling juga berbagi cerita soal kerang mutiara yang punah. “Seharusnya snorkling di Gili Air sini kita bisa melihat kerang besar yang berisi mutiara, namun sudah banyak hilang dicuri. Sayang sekali,” kata sang pemandu asal Gili Trawangan dengan mata penuh penyesalan.
Alam, dan seluruh isinya di kepulauan Gili adalah fokus utama masyarakat lokal dan pengunjung. Menginjakkan kaki di putihnya pasir Gili untuk pertama kalinya, pasti disertai pula komitmen untuk menghormati segala yang bernyawa yang hidup di dalamnya. Keanekaragaman terumbu karang (khususnya jenis karang biru) dan ikan-ikan Gili yang cantik sudah begitu mengemukanya di dunia sehingga turis dari belahan bumi yang jauh pun terbang menuju Gili.
Dalam bahasa Sasak, Gili artinya adalah pulau kecil. Sebutan ini muncul karena begitu banyaknya pulau-pulau kecil yang letaknya disekeliling Lombok. Nama pulaunya kemudian menyusul di belakangnya untuk tidak membuat bingung pengunjung. The Gilis, begitu biasanya destinasi wisata ini dipopulerkan di kalangan turis mancanegara.
Gili Trawangan, bisa dibilang adalah yang paling populer diantara Gili lainnya, mengingat di tempat ini kebanyakan aktivitas laut berpusat. Termasuk juga aktivitas malam hari yang sarat dengan hiburan macam klub, cafe, dan lounge. Kalau hiburan di Gili kedengarannya sangat kebarat-kebaratan, karena 99 persen pengunjungnya pun memang kebanyakan pengunjung mancanegara dari berbagai kebangsaan. Saking mendominasinya, pendatang yang lokal cukup jadi pusat perhatian. ”Tamu di negeri sendiri”, begitu kata seorang wisatawan Indonesia.
Meski begitu, warga Gili sangat bersahabat dan hangat menyambut semua tamu. Mulai dari turis yang menginap di hotel, bungalow, hingga homestay (sebutan berkelas untuk kamar kos-kosan) diperlakukan bagai teman baru. Malah, kebanyakan dari remaja Gili, yang juga beberapa pendatang dari Jawa dan Bali, dengan sumringah bertamu ke lokasi menginap para tamu untuk sekedar berbagi cerita dan mengetahui segala yang terjadi di luar pulau kecil yang berada jauh dari hiruk pikuk itu.
”Di Gili suasananya aman. Di sini tidak ada kriminalitas. Nggak ada polusi dan nggak ada polisi,” kata Yudha sambil tersenyum. Bersama isterinya, Yudha membuka usaha homestay di Gili Trawangan.
Gili Trawangan adalah Gili yang ketinggiannya di atas permukaan laut cukup signifikan. Dengan panjang 3 km dan lebar 2 km, Trawangan berpopulasi sekitar 800 jiwa. Pimpinan adatnya ketiga Gili ini tinggal di Gili Air, namun di Gili Trawangan tetap ada polisi pantai yang berjaga di pos dan setia berpatroli siang-malam untuk menjaga ketertiban dan keamanan.
Ada yang kontras di Gili Trawangan. Kontras, namun berharmoni. Di wilayah terluar dekat pantai, tempat hiburan dan tempat menginap menjamur dan dipadati orang asing berbusana pantai. Meski berada di sebuah pulau yang jauh dari pusat-pusat kehidupan manusia, berbagaifasilitas tersedia lengkap di sini. Termasuk warnet dan hot spot. Tentu juga berbagai toko yang menjual kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan wisata laut, seperti alat selam dan snorkling.
Agak ke dalam sedikit, nuansa kampung khas Gili-lah yang lekat terasa. Meski masih banyak turis asing, di perkampungan ini banyak warung makan sederhana, masjid, rumah gubuk, dan ternak-ternak yang dibiarkan memamah biak dengan leluasa di hamparan rumput yang luas. Makanya wisata pantai, bukit, dan juga nuansa desa, sekaligus bisa terasa di kepualuan Gili.
Uniknya lagi, tak ada kendaraan bermotor di Gili. Semua orang bersepeda –disewakan bagi turis- atau menumpang cidomo atau delman yang merupakan alat transportasi tradisional. Kebanyakan orang memilih jalan kaki, karena mengelilingi pulau kecil ini paling hanya makan waktu sekitar dua jam saja. Atau mungkin lebih, jika sering singgah untuk menikmati pantai-pantai di tiap penjuru Gili yang berbeda karakter satu sama lain.
Syifa Amori
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar