Commemoration memberi “ruang” apresiasi luas terhadap karya maestro kelas dunia yang selama ini bersesakan di ruang koleksi Galeri Nasional
Tahun 1999, pelukis dan seniman litografi Belkis Ayón memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Ketika itu, usianya masih 32 tahun, namun sudah tergolong sebagai salah satu artis visual paling berbakat dan ternama di negaranya, Kuba. Kematian Belkis menggugah rasa penasaran banyak kalangan, baik dari kritikus seni, sesama pelukis, teman dan keluarganya, dan juga penggemar karya-karyanya.
Pertanyaannya kemudian, adakah kegalauan dalam jiwa sang seniman yang begitu membebani dan tak bisa terbebaskan. Misteri ini masih menggantung di banyak benak samapi dengan saat ini, bahkan juga mengemuka di alam pikir banyak orang yang menyaksikan karya Belkis, meski tak kenal senimannya.
Karya Belkis kelihatan nyata “gelapnya”. Seperti gambar yang menjadi simbol akan rahasia yang tak boleh diketahui oleh orang lain. Dalam sebuah pemberitaan mengenai pameran memperingati sepuluh tahun kematiannya di Havana Post, dikatakan bahwa dalam karyanya, seniman perempuan ini kerap menggabungkan simbologi yang beragam –terefleksi dalam colography, xylography dan lithography-nya. Apa yang nyata dalam karyanya adalah ia menghadirkan pintu menuju imajinasi yang menghadirkan misteri.
Salah satu karya Belkis, La Cena (tinta di atas kertas 300x139 cm, tanpa tahun), juga menghadirkan atmosfer semacam itu. Dalam La Cena (The Dinner), sembilan sosok sebentuk siluet manusia digambarkan tengah berada dibalik meja makan. Kesembilan sosok ini memiliki ciri yang berlainan; berwarna hitam pekat mirip ninja, abu-abu, putih, dan bermacam-macam corak yang berbeda satu sama lain. Wajah –hanya berupa mata- dan posisi sosok siluet ini juga berlainan.
La Cena dipajang di sisi kiri –setelah memasuki pintu masuk gedung pamer utama Galeri Nasional. Penempatannya yang terbilang cukup di muka dan juga ukurannya yang besar menjadikannya karya yang cukup banyak menarik perhatian. Apalagi senimannya memang menghadirkan kejeniusan teknis dan konsep yang unik.
Belkis amat dipuji terkait dengan kemampuannya yang begitu canggih mencampurkan unsur hitam dan putih sehingga tampil energi seolah melibatkan seluruh spektrum warna. Kesan ini menjadikannya seniman yang memiliki teknis jitu tersendiri. Penyatuan mitos Abakuá (agama Afrika kuno yang dibawa dari
La Cena yang memerangkap mata ini bukanlah satu-satunya karya luar biasa di gedung pamer Galeri Nasional.
Karya Lurcat yang juga ditampilkan di Galeri Nasional –sayangnya- tidak diketahui judulnya, namun jika dibandingkan dengan karya-karyanya yang lain memiliki kemiripan figur yang sama. Misalnya gambar ayam sebagai fokus artistiknya. Lewat wujud ayam itu, Lurcat menuangkan sentuhan yang mengubahnya jadi karakter imajinatif yang berhiaskan motif material alam; daun, hewan, dan matahari, dalam taburan warna yang sepintas kelihatan seperti berasal dari ujung pena spidol dan juga warna-warna “kabur” cat air.
“
Selain itu, ada sekitar 38 karya maestro dunia lainnya yang di-display dalam pameran Commemoration yang dibuka oleh kurator internasional Jim Supangkat sejak Kamis (17/12) hingga 10 Januari mendatang. Pameran ini memang sengaja dihelat untuk membuat pengunjung terperangah mengenai apa yang “dipingit” oleh Galeri Nasional. Karya-karya seniman kenamaan dalam dan luar negeri yang sangat bernilai, namun jarang ditengok. Bahkan tak tersadari bahwa Galeri Nasional memiliki koleksi ini dan memamerkannya secara permanen, meski sedikit saja orang yang tahu.
“Ini adalah pameran yang fenomenal tidak sering ditampilkan. Juga karena karyanya memang fenomenal, karena disumbangkan oleh para seniman internasional pada tahun ’59 dengan semangat membangun sebuah Galeri Nasional sebagai respon ide Bung Karno yang akan mendirikan Museum Nasional,” kata Jim Supangkat dalam pidato pembukaan pameran.
Pemerintah Prancis yang menghibahkan karya seniman yang berproses di Prancis pada tahun 1959 ini menandai satu dari tiga periode besar yang membagi penggolongan karya dalam Commemoration. Jim Supangkat melihat koleksi Galeri Nasional Indonesia yang berasal dari periode itu sangat layak diapresiasi kembali mengingat itu adalah masa-masa dimana seniman dunia sedang mencoba menerobos batas-batas nasional. ”Museum-museum di Eropa kala itu mencoba mengoleksi karya dari seniman negara lain, tapi banyak orang tidak tahu mengenai gerakan para seniman ini.”
Sedangkan periode kedua adalah 29 karya yang dihibahkan seni rupa peserta pameran Contemporary Art of the Non-Aligned Countries tahun 1995 (saat itu dikuratori Jim Supangkat). ”Ini adalah tonggak kesadaran internasional gerakan seni rupa negara dunia ketiga untuk melawan dominasi Barat,” kata Kuss saat diwawancarai usai pembukaan pameran.
Menurutnya, tidak semua karya hasil hibah lantas digelar dan dipamerkan. Ia memilihnya menurut kerangka pandang terhadap reputasi, pembacaan atas pencapaian estetik, dan nilai historik masing-masing karya tersebut. Maka, karya-karya yang akan diperlihatkan merupakan karya seniman yang telah karib dalam ingatan atas sejarah seni rupa modern dunia.
Commemoration menampilkan karya perupa Eropa, Asia, dan Indonesia, seperti Wassily Kandinsky (Rusia), Hans Hartung (Jerman), Victor Vassarely (Hongaria), Sonia Delauney (Ukraina), Piere Soulages (Perancis), Zao Wou Ki (China), Pacita Abad (Filipina), Reddy G.Ravinder (India), Belkis Ayon (Cuba), Popo Iskandar, Heri Dono, Hanafi, dan Suklu (Indonesia).
Di samping karya-karya tersebut, juga ada sekumpulan karya koleksi yang berasal dari seniman dalam negeri. ”Terdiri atas koleksi hibah dan transaksional, seperti jarya Hanafi dan Heri Dono yang dibeli dengan harga dibawah pasar. Ini merupakan perkembangan lebih lanjut dari kebijakan Galeri Nasional Indonesia yang mencoba untuk mengakomodasi kebutuhan publik untuk mengumpulkan para seniman Indonesia yang telah bergerak menginternasional,” ujar Kuss yang mengkurasi Commemoration.
Kuss yakin bahwa publik tentu telah paham bahwa tidak sedikit seniman atau perupa Indonesia yang menancapkan reputasinya di fora internasional. Sebut misalnya Heri Dono, Dadang Christanto, Entang Wiharso, Nasirun, Eddie Hara, dan segudang nama lain yang terus mengorbit di lingkar luar tanah air. Karya-karya dari para seniman inilah yang tengah menjadi hasrat Galeri Nasional Indonesia untuk dikoleksi.
Hebatnya, Commemoration memajang hanya sekitar 2,5 persen saja dari 1.770 karya yang dimiliki Galeri Nasional Indonesia. Tergolong hebat, tentu bukan karena karya yang menjadi koleksi di sini adalah karya yang tak tertandingi oleh koleksi galeri nasional di seluruh dunia. Melainkan karena ini adalah karya-karya yang termasuk terbaik di dunia dan diberikan kesempatan untuk diapresiasi lebih banyak orang.
Melihat wacana yang membingkai Commemoration, jelaslah bahwa pameran ini memang diadakan sebagai reminder publik untuk membaca kembali rentetan karya ko0leksi yang dimiliki Galeri Nasional.
”Ada karya-karya penting perupa dunia yang layak untuk diapresiasi kembali, berikut dugaan publik atas pengaruh karya-karya tersebut dalam khasanah seni rupa di dunia, termasuk Indonesia. Ada pula rentetan karya yang menjadi penanda penting atas bangkitnya upaya (semacam) “gerakan internasionalisme” tatkala negara-negara di kawasan Asia-Afrika (luar Amerika Serikat dan Eropa) mencoba merebut peran-peran dan posisi yang potensial dimiliki, yang selama ini didominasi oleh Barat. Dan kemudian, banyak karya yang mengetengahkan gairah perupa Indonesia dengan segala dinamika kreatifnya. Penampang kecil dari kecenderungan tersebut sedikit banyak terbaca dalam pameran Commemoration ini”, kata Kuss dalam pengantar kuratorialnya.
Buntut dari apresiasi tentulah sebuah dugaan, renungan, dan juga diskusi lebih lanjut terkait karya yang dibaca. Pada akhirnya, publik bisa memperdebatkan dan bahkan juga secara leluasa membandingkan kecenderungan karya seniman lokal dan internasional, serta mendalami segi historikal, misalnya karya-karya kontemporer yang ternyata telah dikedepankan sejak 14 tahun lalu. Termasuk juga, publik (seniman) bisa mempersoalkan peran dan posisi yang lebih besar lagi bagi terdorongnya Galeri Nasional Indonesia untuk menjalankan fungsi-fungsi sosialnya, yakni (antara lain) melakukan proses pengoleksian karya.
Partisipasi publik semacam ini dianggap bisa memberikan sumbangsih terhadap dasar platform dan pemikiran baru terhadap museum atau galeri konvensional. ”Pada akhirnya, apresiasi publik akan memengaruhi kategori karya yang dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia sebagai standar. Peran ini lebih penting daripada besarnya jumlah koleksi,” kata Jim.
Syifa Amori
(Dimuat di Jurnal Nasional)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar