Selasa, 30 Maret 2010

Pesta Dibawah Terang Bulan


Bau Nyale, tradisi sakral yang menghadirkan hangatnya kebersamaan, jadi salah satu tujuan wisata budaya dan alam


Pantai Kuta di pekarangan luar hotel Novotel Lombok Tengah kelihatan sepi-sepi saja. Angin semilir dan dekorasi pantai yang dilengkapi bale serta dipan untuk berjemur membuat suasana di kawasan ini semakin tenang dan romantis. Bagaimana pun, tujuan utama bukanlah untuk duduk menikmati suasana pantai Kuta Lombok di malam hari, melainkan keluar dari area hotel dan menyeberang sedikit ke sisi lain yang diramaikan ribuan manusia.


Adalah sepanjang pesisir Seger Kuta, pantai Selatan Lombok Tengah, yang dipadati ribuan masyarakat, tengah malam itu, Jumat (5/3). Ratusan tenda yang telah dipersiapkan sejak beberapa hari sebelumnya berdiri berjejer memadati lanskap wilayah pantai yang berbukit-bukit. Kedai makanan macam bakso, sate, hingga warung yang menjual nasi bungkus dan jajanan ringan berusaha menawarkan pelepas lapar bagi oarng-orang yang bermalam.


Festival Bau Nyale memang sudah begitu mengemukanya di kalangan masyarakat Lombok, dan bahkan juga di Pulau Jawa. Setiap tahun, antara bulan Februari dan Maret –masih dalam musim penghujan- orang berbondong-bondong datang ke Pantai Seger yang berlokasi di Desa Kuta, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat.


Padahal, menuju ke kawasan ini, pengunjung juga mesti melewati wilayah yang rawan konflik antar di kawasan Desa Ketare, Praya, Lombok Tengah. Atas alasan ini, banyak pengunjung memilih untuk berangkat menuju Pantai Seger Kuta saat hari masih terang atau berada dalam rombongan mobil yang sama-sama menuju lokasi Bau Nyale. Meski menegangkan, ternyata semua berjalan lancar dan aman. Ribuan masyarakat pun datang dengan berbagai kendaraan (motor, mobil, truk dengan bak terbuka, dan bus) untuk alasan yang sama, menyaksikan dan menangkap Nyale.


Nyale adalah sebutan orang Lombok terhadap sejenis cacing laut (anelida polycaetae) yang muncul sekali dalam setahun di pantai selatan Pulau Lombok. Cacing warna-warni ini seperti terbawa arus hingga tumpah memenuhi permukaan air di pantai. Sifatnya yang mengerubungi cahaya menjadikan prosesi Bau (tangkap) Nyale memiliki keunikan sendiri. Pasalnya, cacing ini hanya keluar beberapa jam saja, yaitu mulai pukul empat pagi dan akan segera menghilang dan atau mati saat terbitnya matahari.

Bertemankan senter dan jaring atau wadah lainnya yang bisa digunakan untuk menampung cacing, ribuan peserta festival akan membanjiri sisi pantai dan berseru-seru riuh menangkap cacing-cacing yang berukuran kecil hingga sebesar jari telunjuk.


Tidak seperti cacing tanah, Nyale memiliki warna menarik dan gerakan lincah seperti belut. Hewan berwarna hijau, oranye, hingga merah, dan kecokelatan ini akan bergerak-gerak energik di air dalam wadah tangkapan.


”Tekstur tubuhnya rapuh sehingga mudah hancur dan lebur bersama air laut jika terlalu keras dipegang atau jika terkena sinar matahari. Makanya dia langsung hilang pagi hari,” kata Thoriq Bafadal, salah satu warga yang khusus datang bersama keluarganya dari daerah Praya dan Mataram.


Selain diyakini bisa menyuburkan tanah pertanian sebagai pupuk, seperti yang dikatakan masyarakat saat diwawancarai, Anelida laut ini juga dipercaya memiliki kandungan protein tinggi sehingga banyak yang membawanya pulang untuk diolah sebagai masakan pepes. Bahkan, tak jarang pula yang menelannya langsung begitu berhasil menangkapnya di laut.


Festival Bau Nyale adalah sebuah event bertaraf nasional yang kini diorganisir pemerintah daerah setempat. Maka tak heran jika papan reklame mengenai festival ini meramaikan sisi-sisi jalan raya di kota Mataram dan wilayah Lombok lainnya sejak jauh-jauh hari.


Dalam pembukaannya malam itu, beberapa pejabat pemerintahan dan kepolisian juga turut datang meresmikan. Khususnya dalam upacara awal yang dihelat dengan mempertunjukkan teatrikal legenda Putri Mandalika. Sebuah kisah asal usul Nyale.


Putri Mandalika adalah sebuah cerita rakyat yang berkembang di daerah Lombok Tengah bagian Selatan, tepatnya pada masyarakat Pujut, kecamatan yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Lombok Tengah. Meski pun yang lebih terkenal adalah mitos mengenai perubahan wujudnya yang menjadi Nyale, kisah ini sebenarnya memiliki nilai moral yang tinggi. Yaitu soal pengorbanan dan mendahulukan kepentingan orang banyak.


Dalam pertunjukan malam itu, sekelompok penampil menyajikan kembali kilasan kisah Putri Mandalika yang tersohor akan kecantikan, kebijaksanaan, dan kebaikan hatinya. Sebab kelebihan itulah, maka ia jadi rebutan banyak pangeran dari kerajaan-kerajaan kecil di Lombok. Putri Mandalika diperebutkan hingga nyaris menumpahkan darah akibat perang saudara.


Bisa jadi karena kesucian hatinya inilah, kegalauan Putri Mandalika lantas didengar oleh penguasa yang ghaib. Ia lalu menyendiri dan mendapatkan wahyu mengenai sebuah tempat dan waktu. Maka Putri Mandalika mengundang kembali pangeran-pangeran yang ingin mempersuntingnya untuk datang pada pertemuan tanggal 20, bulan 10 -dalam penanggalan Sasak.


Rakyat dan juga anggota keluarga kerajaan Putri Mandalika datang pada waktu yang ia tentukan di Pantai Seger Kuta, Lombok Tengah. Pangeran bersama rakyatnya masing-masing pun memenuhi wilayah pantai tersebut tepat di saat matahari belum terbit.


”Wahai Putri Mandalika, dirimu tak lagi pantas menjejakkan kaki di bumi. Engkau sudah lama merindukan kebebasan lautan. Marilah pergi bersama kami,” begitu suara audio yang dibuat semistik mungkin diiringi dengan rekaman deburan ombak.


Antara terhibur dan tergelitik, ratusan penonton yang duduk diatas pasir menyaksikan tontonan ini justru bersorak-sorak merespon dramatisasi di atas panggung outdoor tersebut. Rombongan pejabat yang duduk di kursi tamu di bawah tenda juga kelihatan tersenyum menikmati sajian tersebut.


Dalam kisahnya, Putri Mandalika yang naik ke atas karang dan menceburkan diri ke laut mengorbankan dirinya untuk kepentingan seluruh rakyatnya. Pada kelanjutannya, ia kemudian muncul kembali dalam bentuk Nyale setiap tahun dan dimanfaatkan masyarakat untuk kebutuhan pertanian. Selain itu, kabarnya juga digunakan untuk bahan pangan emping, lauk pauk, dan banyak lagi.


Demi menyaksikan hasil dari jelmaan Putri Mandalika inilah, ribuan orang berbondong-bondong bermalam di Pantai Kuta. Ada yang sejak siang sudah menempati titik favorit dengan alas tikar. Hingga malam datang pun, masih banyak orang yang berbaring tidur dan beristirahat di sana sini. Meski begitu, pihak berwajib tampak terus berjaga ketat di sana sini demi menertibkan dan menjaga keamanan.


Ketika angin mulai bertambah dingin yang menandakan datangnya pagi, ombak juga mulai meninggi seolah memanggil kerumunan orang untuk mulai ”berburu” Nyale. Dilihat dari atas perbukitan, kerumunan orang dengan penerangannya masing-masing menjadi pemandangan memukau yang meninggalkan kesan mendalam. Belum lagi sorak sorai kebahagiaan saat diterpa ombak tinggi dan saat berhasil menjaring banyak Nyale.


Banyak orang saling sapa dan akrab mendadak dengan memperlihatkan Nyale dalam botol bekas minuman dan jaring mereka. Ada yang rela berbagi senter dan juga hasil tangkapan. Ditengah terpaan angin laut yang dingin, rasanya justru ada kehangatan hawa yang menjalari dada dalam keramaian dibawah terang bulan malam itu.


Syifa Amori

Tidak ada komentar: