Jumat, 02 April 2010

Provokasi Perupa Untuk Provokasi Publik


Pameran Up & Hope mencoba menguak secercah harapan mengenai dunia seni rupa yang terus berupaya membangun dirinya


Dunia seni rupa yang “hidup” dan selalu dinamis berupaya mengembangkan kondisinya adalah idaman para seniman yang juga dirindukan publik.


Kekondusifan dalam dunia seni rupa diharapkan bisa menciptakan ruang ideal bagi ajang komunikasi antarpelaku seni, penikmat seni, serta masukan positif bagi masyarakat umum dalam menyikapi berbagai fenomena sosial.


Kondusivitas yang dimaksud tentu membutuhkan dukungan berbagai pihak yang menyokongnya. Makanya kemudian perlu ada kesadaran tiap elemen untuk mewujudkannya, termasuk dari para kurator seni untuk memprovokasinya. Seperti yang digagas Dosen Fakultas Seni Rupa dan Pascasarjana ISI Yogyakarta Suwarno Wisetrotomo dalam mengkurasi pameran Up & Hope di D’Peak Art Space, Jakarta Selatan.


Pameran yang menghadirkan lebih dari 129 seniman dengan lebih dari 187 karya ini, menurut Suwarno adalah salah satu bentuk upaya realisasi penyediaan “event yang baik”. “Tugas seorang kurator dalam memprovokasi seniman harus ditopang adanya event yang baik yang akan menantang para seniman untuk berkarya. Yaitu event seni rupa dengan muatan ide yang kuat, tempat yang representatif, kurator yang memahami wacana, promosi yang baik, dukungan institusi, serta media,” kata Suwarno.


Jika event yang baik menjadi salah satu kunci pendukung, maka faktor perupanya sendiri tentu lebih harus dipersuasi demi memaksimalkan peranannya. Dalam pengantar kurasinya, Suwarno mengungkapkan bahwa ada empat hal yang harus dijaga, dikembangkan, dan diperkokoh, terkait dengan upaya “memerankan diri” secara maksimal.


Dimensi pertama adalah dimensi kreativitas dengan “daya ganggu” yang merangsang pemikiran. Dimensi wacana yang terkait aspek kepiawaian mengartikulasikan gagasan untuk merangsang dialog kritis. Dimensi karakter atau ideologi untuk menghadirkan diri dengan penampilan (luar-dalam) yang meyakinkan. Kemudian dimensi ekonomi yang terkait dengan aspek pengetahuan dan keterampilan manajemen dalam mengkreasi peristiwa kesenian dengan perspektif kebudayaan yang memiliki keuntungan ekonomi.


Keempat dimensi ini dianggap esensial demi menjaga harapan akan optimisme dunia seni rupa Indonesia ditengah kemuraman situasi, termasuk juga di dalamnya permasalahan krisis ekonomi, politik, dan sosial. Mungkin juga karena semangat optimisme ini, maka beberapa karya menampilkan visual dalam perwujudan patriotisme serta kondisi politik dalam konteks kebangsaan hingga kelihatannya ada keterkaitan tema Up & Hope dalam konteks kemerdekaan RI, meski sebenarnya tidak secara langsung. Misalnya saja lukisan yang menggambarkan untaian bulu burung merak sebagai latar siluet wajah tokoh nasional Soekarno karya Edo Pillu atau juga lukisan Alex Luthfi R., The Winner, Before and After, yang menggambarkan situasi politisi yang selalu menggunakan topeng dalam rangka memenangkan kedudukan politik incarannya.


Kelonggaran tema yang bisa secara bebas dipersepsikan dan direinterpretasikan -karena kurator dan co-kurator memilih pendekatan personal pada seniman untuk secara tidak terikat melakukan eksekusi karyanya sendiri- menjadikan agak sulit untuk mendefinisikan tema Up & Hope yang mengerucut. Apalagi jika mesti menimbang dari ratusan lebih karya pamer di galeri tiga lantai yang diresmikan berbarengan dengan pembukaan pameran Up & Hope, Sabtu malam (8/8).


Pengunjung pameran akan disuguhi karya dengan begi kecenderungan gaya artistik dan teknis yang berbeda. Bahkan ada beberapa karya instalasi terbilang tidak secara eksplisit terkorelasi dengan tema, seperti Anak Api-nya Haris Purnomo berupa bayi fiber dengan warna api, serangga sophisticated mirip laba-laba raksasa yang terbuat dari metal karya Lutse Lambert Daniel Morin berjudul Garanggawati Hemas, atau juga lukisan akrilik Tiarma Sirair berjudul Pink,s Pose yang memperlihatkan seorang gadis trendi dalam balutan fashion kekinian berwarna merah muda (termasuk payung dan sun glasses-nya) sedang berpose bak model di depan situs bersejarah China yang diwarnai hitam putih monokrom.


Meski begitu, kerangka yang fleksibel sebenarnya justru membantu pengunjung untuk memaknai tiap karya sebagai bagian dari penciteraan tema Up & Hope, baik dari sisi konten visual maupun penggalian idenya sendiri. Dengan begitu, sebenarnya kehadiran karya para seniman lintas generasi ini sebenarnya sudah merefleksikan konsep dari optimisme sebagai bagian dari harapan.


Co-kurator Kuss Indarto melihat bahwa justru kecenderungan yang telah biasa dibuat oleh seniman peserta itulah yang mendorong tema Up & Hope ini untuk kemudian diletakkan, didalami, dan bisa disubversi. Menurut Kuss sebagai salah satu kurator, dirinya memiliki banyak ekspektasi terhadap para perupa untuk mampu memberi pengayaan atas gagasan kuratorial ini dalam pengaplikasiannya secara visual.


“Atas rentetan karya yang terpajang dalam pameran ini, publik -setidaknya saya secara pribadi- masih tetap berasumsi kuat bahwa para seniman ini tidak sekadar memposisikan dirinya sebagai homo aestheticus yang “sekadar” menggapai-gapai tangannya dalam kerangka kreatif atau estetik. Namun juga berpotensi sebagai homo socius atau makhluk sosial yang berkemungkinan untuk membaca tanda-tanda zaman yang berkelebat di ruang sosial yang bisa jadi berada di seberang lingkup disiplin dirinya sebagai seniman,” kata dalam pengantar pada pameran ini.


Selaras dengan pernyatan Kuss, seniman dan budayawan yang turut berpameran Tisna Sanjaya sadar bahwa konteks Up & Hope tak boleh berhenti pada permintaan galeri di tingkat pameran yang menurutnya “simbolis”.

“Tema Berfikir Dengan Dengkul adalah tema yang sudah saya eksplorasi sejak tahun 80-an, tapi ada pendalaman tema yang saya gali lebih jauh di sini sehingga tetap kontekstual, seperti krisis pola pikir dan sikap hidup sehingga masih ada kekerasan seperti bom, kekerasan sistematis yang merusak lingkungan hidup, kekerasan kapital seperti pasar bebas yang menekan masyarakat kecil. Pokoknya potret manusia yang berfikir dengan dengkul untuk kepentingan pribadinya” kata Tisna.


Tisna melihat bahwa seniman -yang selalu berujung pada karya seni- harus bisa memberi harapan dan dorongan kepada masyarakat luas. Berawal dari harapan di dunia seni rupa, ada optimisme bahwa kondusivitas ini pada akhirnya berimbas juga pada kehidupan berkebangsaan. Mengapa tidak?

Syifa Amori

(Dimuat di Jurnal Nasional)

Tidak ada komentar: