Jumat, 02 April 2010

Visualisasi Ilmiah Pulau Jawa







Peneliti alam jenius ini menunjukkan keilmiahan karya artistiknya yang presisi, sekaligus kepiawaiannya dalam seni grafis

“Siapa pun yang sudah membaca buku-buku Junghuhn, mengagumi peta-petanya, terbius pada gayanya yang cemerlang, pasti akan berpendapat bahwa Junghuhn adalah pakar Jawa universal yang sangat langka dan perpaduan peneliti dan penyair.”

(Karl Helbig, 1965)

Adalah wajar jika seorang peneliti mengeksplorasi obyek penelitiannya di alam liar, lalu membawa hasil temuannya ke laboratorium untuk diperiksa lebih lanjut. Pada tahap akhir risetnya, tentu sang peneliti mesti menerbitkan tulisan sebentuk jurnal yang mendeskripsikan proses dan hasil, serta bukti-bukti ilmiah dari pencapaiannya.

Bagi peneliti pulau Jawa asal Jerman -yang kemudian pindah kewarganegaraan menjadi Belanda- Franz Wilhelm Junghuhn, seluruh hasil dari riset dan perjalannya di Pulau Jawa tak cukup jika hanya dituangkan dalam karya tulis, akan tetapi juga gambar -lukisan alam. Mulai dari sketsa sederhana sampai dengan peta topografi Pulau Jawa yang akurat dan luar biasa mendetail.

“Dia juga mencantumkan posisi dan nama setiap kampung yang ada di Pulau Jawa. Bandingkan dengan yang dibuat oleh Raffles tahun 1817,” kata Roman Rosener saat pembukaan Pameran Memperingati 200 Tahun Peneliti Pulau Jawa: Franz Wilhelm Junghuhn di Erasmus Huis, Rabu (18/11). Roman Rosener adalah Kosultan Proyek Budaya dan Pembangunan Goethe-Institut yang juga mengetuai proyek pameran ini.

Peta hasil karya Junghuhn yang berukuran panjang 79 meter dan lebar 19 meter ini, dalam display pameran malam itu, sengaja dipasang di bawah peta Raffles sebagai rujukan dan bahan pembanding bagi pengunjung. Ini karena Raffles sebenarnya telah menginisiasi pembuatan peta Pulau Jawa semasa VOC.

Dalam simposium terkait peringatan 200 tahun Junghuhn yang diselenggarakan di Kampus ITB pada Oktober lalu, disampaikan para pembicara (seperti tercantum dalam situs Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB) bahwa pelat karya yang dihasilkan Raffles sangat dekoratif, tetapi sayangnya tidak akurat. Hal ini mendorong Junghuhn untuk melakukan pembuatan ulang yang berhasil diselesaikan pada tahun 1885. Prestasi kartografi ini merupakan yang terbesar karena hanya dibuat oleh satu orang.

“Junghuhn tidak memiliki tim atau pun asisten dalam perjalanannya meneliti tempat-tempat di seluruh pulau Jawa. Sering yang membantunya adalah penduduk lokal yang membantunya membawakan alat-alat penelitian yang berat, misalnya teodolit,” kata Roman sambil menunjukkan gambar teodolit kuno yang dipamerkan di sisi gambar peta Junghuhn.

Teodolit adalah sebuah alat ukur yang biasa digunakan untuk mengukur lanskap permukaan bumi. Dalam pembuatan peta topografi, teodolit digunakan dalam rangka membantu menentukan tinggi tanah dengan sudut mendatar dan sudut tegak. Teodolit memiliki teropong yang bisa dibidikkan ke segala arah.

Menurut Roman, Junghuhn memanfaatkan teodolit untuk menentukan tiga titik di permukaan tanah yang kemudian membentuk segitiga untuk memastikan arah dan tinggi, utamanya dengan meluruskannya dengan posisi bintang. Pengertian teodolit sendiri adalah instrumen yang dirancang untuk pengukuran sudut horizontal dan vertikal yang juga akan berperan bagi penentuan jarak mendatar dan jarak tegak di antara dua buah titik lapangan.

Ilmuwan naturalis serbabisa -bisa juga disebut universal- ini bahkan mendaki semua gunung yang ada di Pulau Jawa sebagai dasar pembuatan petanya, terutama nilai ketinggian puncak dan dasar gunung.

Berkat ketekunannya ini, Junghuhn dianggap sebagai pelopor seni rupa yang mengilustrasikan sendiri tulisan-tulisannya. Apalagi ilustrasi ini ilmiah, dan bukannya imajinasi seperti yang dikerjakan William Marsden dalam membuat peta Tapanuli.

Direktur Goethe-Institut Wilayah Asia Tenggara, Australia, dan Selandia Baru, Franz Xaver Augustin, mengutarakan bagaimana Marsden hanya mengimajinasikan lokasi dan kontur alam wilayah yang ia petakan. “Ia mengelilingi sebagian wilayah Sumatera yang ia petakan dengan berlayar, kemudian mengira-ngira lokasi wilayah di dalam petanya.”

Dalam penelitian ini, Junghuhn telah melakukan banyak ekspedisi di Pulau Jawa, misalnya ekspedisi pertamanya pada tahun 1837 untuk menelusuri Jawa Barat; Pelabuhanratu, Priangan, Cirebon. Meneliti gunung-gunung Patuh, Tangkubanperahu, Guntur, Papandayan, Galunggung, dan Ciremai. Tahun 1845, Junghuhn menghabiskan setahun penuh waktunya untuk rangkaian penelitian di Jawa Tengah. Ia tinggal di Salatiga, di Ungaran, dan di Dataran Tinggi Dieng.

Dengan bantuan botanikus Nees von Esenbecks di Jerman, Junghuhn mengirimkan naskah yang disertai gambar kepada Nees Von Esenbeck sehingga terbitlah buku pertamanya Perjalanan Topografi dan Ilmu Alam.

Setelah buku kedua Tanah Batak di Sumatera -Junghuhn juga meneliti sebagian Pulau Sumatera- terbit dalam bahasa Jerman, ia memulai perjalanan terakhirnya ke Tangkubanperahu. Di masa ini, Junghuhn tengah menderita penyakit kronis yang memaksanya kembali ke Eropa demi pemulihan kondisi.

Semasa tujuh tahun istirahat, Junghuhn menyerahkan peran penelitinya kepada peneliti laboratorium di universitas. Ia menjual koleksi lengkap temuannya yang meliputi botanika, geologi, dan palaentologi kepada institusi pendidikan untuk diteliti lebih lanjut. Ia sendiri lebih fokus dalam kegiatannya meneliti dan mengkaji gambarnya, khususnya gambar “lukisan alam”, termasuk mahakaryanya yang membuatnya diingat hingga saat ini, Peta Pulau Jawa.

Diukur dan diteliti sendiri, peta ini kemudian dicitrakan dengan skala yang diperkecil, namun amat akurat. Dengan manual menggunakan tangan tanpa bantuan orang lain, Junghuhn kemudian mempraktikkan teknik grafis sederhana yang memukau, yaitu menggambarkannya dan kemudian mencetaknya di atas sebuah pelat.

”Ia belum menggunakan warna yang sekompleks peta saat ini, tapi arsirannya sudah sesuai dengan zamannya yang memang umum dipakai waktu itu untuk menggambarkan kontur dan ketinggian berbeda sebuah lanskap,” kata Xaver Augustin.

Teknik grafis yang digunakan Junghuhn ini adalah litografi, yaitu teknik cetak yang didasari sifat kimiawi minyak dan air yang tak bisa bercampur. Air yang menolak sifat minyak pada tinta akan membuat tinta hanya menempel pada bagian gambar yang berminyak. Kemudian ditransfer ke atas pelat menggunakan alat pres.

Teknik litografi ini dikenal dengan kemampuannya menangkap gradasi dan detail yang sangat kecil. Pantaslah jika peta pulau Jawa Junghuhn sangat jernih hingga ke goresan tinta yang paling halus, sebagai penegas kontur. Selain itu tentu juga berkat kemampuan menggambarnya yang baik sehingga Junghuhn, secara visual, mampu mendeskripsikan secara rinci keadaan alam yang sebenarnya.

Pada akhirnya ia menghasilkan peta yang sangat spesifik, bahkan sangat mirip dengan penciteraan angkasa NASA terhadap lasnkap Jawa tahun 2007. Peta ini sangat detail, mulai dari ketinggian gunung, kontur-konturnya hingga jumlah penduduk pada saat peta dibuat. Selain peta, Junghuhn membuat diagram profil ketinggian Pulau Jawa, perbandingan antara gunung yang satu dan gunung lainnya -di mana ia mendaki semua puncak gunung-, ia bahkan menyertakan hasil perbandingannya apabila pulau Jawa ditenggelamkan hingga 100 ribu kaki ke dalam laut.

Lahir pada 26 Oktober 1809, Junghuhn -seperti banyak kolega di zamannya- berada dalam bayang-bayang Alexander von Humboldt dan Charles Darwin sehingga ia pun segera terlupakan. Dengan karya besarnya mengenai Jawa, para peneliti generasi berikutnya yakin bahwa Junghuhn dalam banyak hal mengungguli Humboldt.

Thilo Label yang menjadi pembicara dalam simposium Peringatan 200 Tahun Junghuhn di ITB Oktober lalu, mengatakan ambisi estetik Junghuhn terutama sangat dipengaruhi Alexander von Humboldt yang mengedit dan memublikasikan perjalanannya yang

luar biasa di Amerika Latin. Misalnya memperlihatkan pada dunia Eropa mengenai keberadaan dan wujud pohon-pohon hutan hujan, pohon palem, pohon pisang, dan sejenis anggrek yang di abad ke-19 tidak mudah diketahui. Menurut Humbold, organisme ini hanya tumbuh di wilayah tropis.

Junghuhn adalah pengikut Humboldt yang sukses. Dalam buku Java-travel-nya tahun 1845, ia memperlihatkan lagi keajaiban pada dunia Eropa. Yaitu gambar spesifik peta

litografi Pulau Jawa, potret gunung berapi, dan banyak sketsa dari pemandangan khusus yang dideskripsikan dalam buku teksnya.

“Anda bisa melihat seluruh gambarnya di database-koleksi yang saya instal di Berlin Humboldt-University setahun lalu,” kata Thilo Habel dalam emailnya seraya memberikan alamat situs http://www.sammlungen.hu-berlin.de/search/?q=junghuhn.

Sketsa-sketsa itu, menurut Thilo, tidak digambar kembali oleh seniman khusus, namunmurni di-copy dari catatan Junghuhn. Kecanggihan teknik artistik dan estetiknya dibuktikan lagi ketika pada edisi Jerman perjalanan Jawa Java, seine Gestalt, Pflanzendecke und innere Bauart, ia memperlihatkan hasil karya wood engraving yang tekniknya agak berbeda -menggunakan mata pisau yang bergerigi- dibandingkan dengan cukil kayu.

Pada akhirnya, Humboldt pun menyampaikan pujiannya kepada Junghuhn; ”Betapa besar terima kasih saya kepada Anda atas peta yang indah, sungguh geologis, beraneka ragam bentuk. Lebih dari sebuah makan malam, Raja, Pangeran Friedrich dari Belanda, Menteri Peperangan, dan banyak jenderal mengagumi peta ini sebagai sebuah karya yang sangat luar biasa,” katanya di Berlin pada 20 April 1857.

“Ia merupakan orang pertama yang membuat peta dengan dasar ilmiah dan membawakan seni dalam pembuatan peta. Keahliannya ini juga dipakai dalam mengenali spot yang tepat untuk penanaman kina,” kata Direktur Erasmus Huis Paul J.A.M. Peters yang menyambut baik inisiasi Goethe-Institute untuk mengadakan pameran memperingati Junghuhn dan hasil karyanya tersebut.

Dalam pameran ini hadir pula Duta Besar Belanda di Indonesia Nikolaos van Dam, Duta Besar Jerman di Indonesia Norbert Baas, dan pembicara Cor Passchier. Dalam seminar tersebut, diungkapkan sedikit riwayat hidup Junghuhn yang terbilang sebagai seorang jenius-nyeleneh sehingga kerap ditentang berbagai kalangan, dan sempat dipenjarakan hingga ia mesti berpura-pura gila untuk bisa bebas kembali.

Meski begitu, tak bisa diingkari bahwa ia seorang yang berjasa. Junghuhn bahkan diakui sebagai pengguna fotografi ilmiah pertama. Ilmuwan alam ini memanfaatkan peralatan fotografi secara tepat dalam pekerjaannya. Ia menggunakan seperangkat alat fotografi, seperti obyektif ganda, tripod, dan perlengkapan tambahan lainnya, seperti bahan kimia dan kertas foto. Bukan pekerjaan mudah membawa alat fotografi kuno yang besar dan berat mendaki gunung-gunung dan menjelajahi tiap inci Pulau Jawa untuk mengukur dan meneliti.

Kekerasan hati dan usahanya inilah yang menjadikannya berbeda dan unik selayaknya seniman. Oleh tokoh lain, E,M, Beekman pada tahun 1996, Junghuhn diberi predikat seniman artistik; ”Meski bekerja secara empiris dan analitis, namun penggambarannya mengenai alam lebih bersifat subyektif daripada obyektif, lebih bersifat artistik ketimbang teknis. Tapi bukan berarti ia tidak eksak, sebab pada seorang pencinta pun terdapat presisi seperti halnya di laboratorium.”

Syifa Amori

(dimuat di Jurnal Nasional)

Tidak ada komentar: