Jumat, 29 Agustus 2008

Menapaki Naga Tidur


Siang itu, Jumat (22/8), matahari bersinar garang sekali. Karena berada di dataran tinggi, rasa-rasanya panasnya lebih terasa membakar kulit kepala. Kalau sudah begini, senjata andalan adalah topi dan kacamata hitam. Yang modelnya trendi malah lebih menguntungkan untuk menebar pesona. Mumpung bertemu dengan sesama turis dari seluruh dunia. Tentu penampilan mesti dipersiapkan. Apalagi yang didatangi adalah tempat sangat istimewa. Sebuah peninggalan sejarah yang tak luruh dimakan waktu. Yaitu Tembok Besar, Tembok Raksasa, atau Tembok Panjang China yang di dunia dikenal dengan sebutan Great Wall (Wan Li Chang Cheng). Situs ini adalah bukti kebesaran masa lalu China yang hingga kini masih punya daya tarik luar biasa mengundang turis asing.

“Akhirnya sampai juga,” kata seorang teman yang serombongan dengan saya. Sambil bercanda, kami berebut memegang bagian tembok yang menjulang tinggi tersebut. “Ini bukti kalau kita sudah menginjakkan kaki di salah satu situs Keajaiban Dunia,” tambahnya.

Meski panas, angin yang melewati kami sangat menyejukkan. Sehingga membantu saya untuk kembali mendapatkan tenaga saat menanjak. Angin segar ini berasal dari wilayah pegunungan yang dilintasi Tembok Besar. Untungnya, supir bus kami yang baik hati sengaja menurunkan penumpangnya di pintu masuk yang ada di wilayah cukup tinggi. Jadi pendakian ekstra berat tidak wajib hukumnya. Lokasi Badaling Section ini memang paling dibanjiri turis. Karena juga banyak terdapat stand dan toko yang menjual souvenir. Makanya manusia kelihatan menyemut di sekitar Badaling.

Mungkin karena Olimpiade Beijing 2008 sedang berlangsung, Tembok Besar sangat padat wisatawan. Dari tempat saya berdiri, bisa terlihat semacam “kemacetan” pendakian menuju titik-titik tembok yang lebih tinggi.

Sambil mendaki sesekali saya berfoto. Yang pasti membuat foto saya berbeda adalah, latar belakangnya. Bukan cuma tembok yang tak putus-putus hingga tampak seperti naga tidur di daratan Cina ini, tapi juga slogan besar Beijing 2008, One World One Dream yang disertai logo Olimpiadenya. Tak heran turis yang kerap berpapasan banyak yang mengenakan seragam tim olah raga dan t-shirt beridentitas negara masing-masing. Yang mencolok mata, adalah aksesoris merah supporter Rusia.

Tembok Besar China menjanjikan 4 macam “rasa” bagi pengalaman visual manusia. Yaitu keindahan pemandangan saat musim semi, musim panas, musim gugur, dan musim salju. Semua musim menghadirkan Tembok China yang berbeda. Karena saya mengunjungi di pertengahan bulan Agustus, maka “rasa” Tembok China ketika itu adalah hijaunya alam yang membentang luas dimana tembok berdiri. Sejauh mata memandang adalah tumbuhan hijau dan langit biru.

Musim panas di Badaling terbilang terik. Mulai bulan Juli sampai dengan Agustus musim hujan akan mulai datang. Kabarnya di musim hujan, setelah reda, kabut dan awan seperti menyatu bersama menutupi permukaan gunubg. Dengan perpaduan ini, Tembok Besar jadi keliahatan seperti mengambang di langit seperti naga terbang raksasa yang menawan.

Tembok raksasa ini adalah bangunan terpanjang yang pernah dibuat sepanjang sejarah manusia. Bayangkan saja, Panjangnya adalah 6.400 kilometer (dari kawasan Sanhai Pass di timur hingga Lop Nur di sebelah barat). Makanya saya juga tak berencana melintasi semuanya. Apalagi tak semua lintasan tembok ini dibuka untuk turis. Jadi saya pilih mengeskplorasi menara pengintai (serupa mercusuar yang tidak tinggi) yang dibangun setiap 180-270 meter. Tinggi menara pengintai tersebut 11-12 meter. Sementara tinggi temboknya sendiri adalah 8 meter. Wajar kalau dibuat tinggi. Karena memang fungsi tembok ini adalah semacam benteng pertahanan. Yaitu untuk mencegah serbuan bangsa Mongol Utara ketika itu.

Dan memang benar, dari menara pengintai yang lebih tinggi kita bisa melihat ke bawah lebih jelas. Apalagi kalau bersedia melewati curamnya tanjakan Tembok China menuju puncak yang lebih tinggi, kita bisa melihat sebagai dataran China. Tembok Raksasa Cina dianggap sebagai salah satu dari Tujuh Keajaiban Dunia. Pada tahun 1987 , bangunan yang melintasi wilayah Liaoning, Hebei, Tianjin, Beijing, Shanxi, Inner Mongolia, Shaanxi, Ningxia, dan Gansu ini dimasukkan dalam daftar Situs Warisan Dunia UNESCO.

Bagi wisatawan yang ingin berwisata dengan aktivitas fisik, demi pengalaman menyeluruh, bisa mengunjungi Tembok Besar melalui Simatai. Jaraknya sekitar 110 km sebelah north-east Beijing. Dari sini, menikmati Tembok Besar lebih maksimal. Pilihan terbaik. Karena masih sangat orisinil. Tanpa sentuhan popular untuk menarik turis. Mungkin juga ini karena jaraknya yang terlalau jauh dari ibu kota dan sedikitnya pilihan transportasi umum untuk menjangkaunya.

Sementara yang sudah puas menanjak sebagian lokasi sambil menyaksikan keindahan alam dan berfoto, seperti saya, bisa kembali lagi ke pintu masuk (bagian tiket). Di sini banyak toko dan café untuk beristirahat sambil cuci mata mencari pernak pernik terkait Tembok China. Yang paling unik dan tak terlupakan, misalnya, adalah sebuah sertifikat yang menyatakan bahwa pengunjung sudah pernah dan berhasil menaiki tembok besar China. Dengan membayar sebesar 20 yuan (setelah menawar dari 50 yuan), pramuniaga langsung menuliskan nama pengunjung dalam aksara China di sertifikat tersebut. Jadi, saya dan teman-teman sudah dinyatakan lulus bersertifikat.

Syifa Amori

Selasa, 12 Agustus 2008

Rumah untuk Lalat dan Kumbang Bersua








Kamis, 14 Februari 2008
Jurnal Nasional

Steve Irwing berekspedisi untuk melihat langsung beragam jenis hewan. Di Taman Mini, pengunjung bisa menjelajahi Museum Serangga untuk melihat langsung puluhan ribu serangga liar. Tapi yang ini tak perlu bertaruh nyawa.


Mengunjungi Taman Mini Indonesia Indah, kian terasa kalau Indonesia memang negeri yang kaya dan indah. Apalagi udara yang sangat sejuk siang itu, Selasa (12/2), mendukung aktivitas mengelilingi Museum Serangga di kompleks Aquarium Air Tawar TMII. Baru menjejakkan kaki saja di gerbang museum, saya makin yakin kalau negara tempat saya dilahirkan ini memang kaya tiada tara. Di atas sebuah bidang besar, dijejerkanlah ribuan kumbang nusantara seolah menyambut setiap tamu yang datang.

Meski tidak fobia serangga, museum yang satu ini tetap sukses bikin sebagian pengunjungnya merinding. Tapi mampu juga bikin jatuh cinta. Di awal-awal, kita akan “dihibur” berbagai koleksi serangga kecil seperti lalat, semut, dan semacamnya. Makin ke dalam ruangan museum, “hiburan” tambah mencengangkan. Mulai dari ukuran sampai atributnya, koleksi serangga di ruangan ini mampu membuka mata pengunjung tentang apa yang disimpan hutan-hutan Indonesia. Begitu guide bercerita tentang kemampuan mencapitnya kumbang badak yang punya satu tanduk raksasa ini, akan semakin melototlah pengunjung memperhatikannya. Kumbang ini pula yang jadi dijadikan logo dan dipajang di depan gerbang museum. Belum lagi keunikan kumbang kotoran yang saking canggihnya sampai bisa bepergian dan dinas ke luar negeri.

“Saat kuliah, penelitiannya saya tentang kumbang kotoran. Pada tahun 1980-an, Australia bermasalah dengan kotoran sapi karena membuat rumput di peternakannya mati. Akhirnya diimporlah kumbang kotoran dari Sulawesi untuk merombak kotoran menjadi pupuk. Prosesnya lebih cepat daripada fermentasi,” kata Lilik Kundarsetiadi, pria lulusan jurusan Biologi dari bagian Koleksi Hidup Museum Serangga, yang menemani saya berkeliling.

Kumbang kotoran yang punya nama Heliocopris Tyrannus, misalnya, bertugas untuk menggali tanah dan memasukkan kotoran sapi ke dalam lubangnya. Percayalah, yang satu ini punya tangan dan kaki yng kelihatan sekali seperti alat penggali. Kekar, tapi tidak seperti alat untuk menyerang. Ada sekitar 6 ratusan jenis serangga dari seluruh wilayah Indonesia jadi “penunggu” tempat ini. Meski sudah tak hidup lagi, karakter fisik masing-masing serangga dan kemampuan tata pamer kurator museum membuat pengunjung mampu membayangkan kehidupan serangga tersebut di masa-masa jayanya. Misalnya koleksi kumbang gitar (Mormolyce Phyllodes) yang dipajang di batang pohon besar. Selayaknya ia masih hidup. Karena kumbang ini memang menyukai batang pohon besar yang berjamur. Serangga yang termasuk ordo Coleoptera (bersayap perisai) ini hidup sebagai pemangsa serangga kecil, jamur, dan cacing yang ada di tanah. “Kalau merasa terganggu, dia bisa mengeluarkan cairan yang bisa membutakan jika terkena mata,” tambah Lilik. “Kalau kita ke puncak, jalan-jalan ke atas, Gunung Gede Pangrango, kalau beruntung, kita bisa melihat serangga ini.”

Selain serangga-serangga berpenampilan garang, si bagian dalam museum, ada juga serangga cantik dengan berbagai warna yang memukau. Kupu-kupu dan belalang. Di ruangan ini, kupu-kupu juga dipajang berdasarkan pemisahan garis Wallace yang membatasi penyebarannya antara wilayah satu dengan yang lainnya. Hewan-hewan bersayap warna warni ini ditata di atas bidang yang menyerupai peta.

Maulana Cholid, Kepala Museum Serangga, yang menyambut saya dengan ramah di ruang tamu kantor menjelaskan bahwa koleksinya di museum itu belumlah sampai 10 persen dari total keragaman jenis serangga yang sudah di Indonesia. “Yang langka, kita punya 15 jenis dari total 20 jenis. Yang 14 jenis dari keluarga Papilionidae dan 1 jenis dari keluarga Nymphalidae (kupu peri). Kumbang juga kita punya banyak sekali yang langka, tapi belum dilindungi. Khususnya kelompok Lucanidae (kumbang tanduk rusa). Di sini koleksinya ada beberapa jenis, termasuk yang agak susah didapat dari Irian, Cyclommatus Imperator.”

Koleksi yang dimiliki Museum Serangga sejak awal didirikannya berasal dari berbagai sumber. Mulai dari sumbangan LIPI dan Departemen Kehutanan, sumbangan mahasiswa yang mengadakan penelitian, membeli dari kolektor di Indonesia, dan mengambil sendiri di alam. Yang terakhir ini dilakukan oleh tim ekspedisi khusus milik museum. Namun sayang karena ketiadaan dana, tim ini tak eksis lagi.

“Kalau ambil sendiri, kita langsung memberi label keterangan tempat, waktu, dan yang mengambil. Itu pun ada etikanya. Kalau dalam suatu komunitas berhasil menangkap 10, maka yang 8 dilepaskan. Karena ada pertimbangan masalah kelestarian. Ketika berhasil menangkap, tentu langsung dimatikan dengan tata cara. Dengan dipencet bagian dadanya, untuk kupu-kupu. Atau disuntik alkohol 70 persen, untuk kumbang. Ada juga dengan dimasukkan air yang panas. Tapi saya nggak pernah melakukan itu,” tukas pria yang punya latar belakang ilmu entomolgi ini.

Setelah mati, kupu-kupu lalu dimasukkan ke dalam kertas khusus dan dibawa ke laboratorium untuk dibentang sesuai keinginan. Beruntungnya, pengunjung museum ini sanagt dipersilahkan untuk mengeksplorasi sampai ke laboratoriumnya. Tentu saya tak sia-siakan kesempatan ini. Jadilah saya bisa melihat oven, yang menurut Maulana, digunakan untuk mengeringkan serangga. “Serangga dioven selama 2 minggu dengan suhu yang disesuaikan ukuran tubuh serangga. Nanti kalau mau dibentangkan bisa dilemaskan lagi dengan alkohol 70 persen itu.”

Syarat keawetan koleksi, bagi museum yang menghindari penggunaan bahan kimia seperti air raksa atau formalin ini, adalah serangga harus benar-benar kering setelah dioven. Cirinya, kumbang sudah tidak lagi mengeluarkan bau anyir atau bau darah. Sisanya tinggal dirawat dengan menggunakan kamper dan pengaturan suhu yang sesuai. Kelembabannya tidak boleh berubah demi menghindari jamur dan kutu yang bisa merusak koleksi. “Selama ini perawatan kita begitu dan koleksi tetap awet. Tapi ada beberapa koleksi sumbangan yang sudah ada dalam tempat kedap udara yang kualitasnya sangat bagus sehingga beberapa koleksi yang sudah berumur 100 tahun tetap terpelihara.”

Apa yang dipamerkan Museum Serangga memang tak biasa. Unik, menarik, bahkan juga menakutkan. Apalagi ini adalah satu satunya museum yang mengoleksi serangga di tanah air yang samapai saat ini bisa dijadikan rujukan untuk koleksi. Kalau yang dimilki LIPI tertutup karena untuk kepentingan ilmiah. Sedangkan museum ini sifatnya ilmiah populer. Istilah Maulana, “jendelanya LIPI lah.”

Sayangnya, jendela LIPI sekaligus jendela biodiversity-nya Indonesia ini belum dapat penghargaan layak. Pemerintah total melepaskan museum ini dibawah pengelolaan TMII dengan berbagai keterbatasan. Jangankan dana, dukungan promosi juga mesti diusahakan sendiri oleh Maulana yang pernah datang ke Depdiknas untuk mengenalkan potensi Museum Serangga, meski tanpa feedback yang mencukupi. Alhasil, seringnya museum ini sepi pengunjung. Sekolah-sekolah tidak mendapat informasi tentang pentingnya museum ini. Guru yang membawa rombongan murid ke sini biasanya membiarkan muridnya lepas begitu saja berlari kesana kemari. Kesadaran lebih terlihat kalau yang berkunjung sekolah-sekolah tertentu.

“Tanpa bermaksud membedakan, murid dan guru sekolah internasional lebih terlihat apresiasinya. Mereka menggambar, belajar. Anak-anaknya minta diguiding dan mengajukan pertanyaan yang terkait dengan kehidupan serangga. Lebih dari sekedar ingin tahu nama atau mengagumi warna dan bentuk. Mereka penasaran dengan manfaatnya di alam, bagaimana cara hidupnya, dan banyak lagi,” tambah Maulana yang kemudian menunjukkan ruang audio visual untuk menonton film dokumenter dengan didampingi guide.

Dalam keterbatasan itu, toh Museum Serangga tak mau menyerah. Berbekal niat meneruskan tujuan mulia di awal pendirian museum ini, Maulans berkeras mengejar target sesuai dengan yang ditentukan Akuarium Air Tawar. “Kondisi sedikit membaik setelah gabung dengan Akuarium. Pengunjung beli karcis dan bisa sekaligus ke Akuarium, Museum Serangga, dan Taman Kupu-kupu yang juga dibawah museum ini. Mungkin tahun depan kita sudah bisa menata dan menambah lagi koleksi perlahan-lahan.” Harapannya, museum ini bisa dijadikan tempat penelitian. Menurut Maulana, pihaknya menyambut kerjasama. Karena dengan interaksi, Museum Serangga pasti terdorong meningkatkan pengetahuan demi informasi yang akurat dan meluas.

Sjifa Amori
syifamori@jurnas.com

Romantisme Makam Tua


jakarta | Kamis, 28 Februari 2008 Jurnal Nasional

Koleksi museum ini memang kuburan. Tapi pengunjung bisa gali fakta sejarah, maknai tulisan sentimentil prasasti, dapat foto indah, dan cari silsilah nenek moyang di sini.

Jalan-jalan di kuburan bisa romantis juga. Masa sih? Biasanya, kuburan kansetting pada film serta video klip. Anak-anak SMA juga tak mau ketinggalan ramai-ramai bikin foto berlatar pekuburan ini untuk dimuat di buku tahunan. hanya dipenuhi pepohonan kamboja saja. Tapi kuburan di Museum Taman Prasasti ini memang spesial. Baik dari sisi usianya sebagai taman pemakaman dan spesifikasi orang yang dimakamkan, yang sebagian besar para petinggi Belanda. Tak heran lokasi yang artistik ini kerap dijadikan objek fotografi dan juga

Di pintu masuk, suasana yang menghanyutkan sudah begitu terasa. Belum lagi cuaca agak mendung pagi itu. Pilar-pilar serupa dengan gedung pengadilan menyambut setiap pengunjung dengan gagah. Yang tambah bikin deg-degan adalah puisi yang sepertinya “mempersilahkan” siapapun untuk masuk.

Anda yang sehat sekarang ini. Kami juga pernah mengalaminya. Suatu saat pun anda akan menjadi seperti kami sekarang ini.

“Begitu kira-kira arti puisi berbahasa Belanda tersebut,” tukas Kepala MuseumSejarah Jakarta sekaligus Museum Taman Prasasti, M. R. Manik, mengomentari puisi yang tertulis di nisan apada dinding aula bagian depan museum.

Kedengarannya memang seperti sambutan yang bersahabat, tapi jujur saja, malah bikin ciut nyali. Menurut peneliti UI, Liliek Suratminto, kesan ramah pada puisi ini dikarenakan mereka (orang-orang Belanda) tidak menganggap kematian sebagai suatu yang menakutkan. Tapi siapa sih yang tak gentar membacanya saat mau memasuki gerbang pemakaman.

Di balik gerbang kayu bercat merah marun itu, bukannya kuburan ala film horor Indonesia yang terpampang. Tapi suasana sejuk yang membuat pengunjung merasa berada di sebuah taman di negara yang bukan Indonesia. Cuaca memang agak mendung pagi itu, Kamis (28/2). Dan yang menyambut saya bukan asap bekas bakaran kemenyan, melainkan seekor rusa cantik yang matanya kesepian. Betina yang cantik ini sudah ditinggal mati pasangannya. Pantaslah jika ia jadi “penunggu” di makam yang kental nuansa Eropa ini. Mungkin juga, bukan hanya saya pengunjung yang dia hampiri untuk sekedar minta dibelai.

Tak terlalu banyak yang bisa dilihat dalam museum ini. Karena toh isinya memang hanya makam. Jangan mengharapkan sesuatu yang terlalu luar biasa seperti pertunjukan mayat hidup atau tengkorak asli. Eko Wahyudi, petugas museum yang mengantarkan saya berkeliling, pun mengaku tak pernah melihat hal-hal ghaib semasa bertugas. Tapi jangan salah, koleksinya sangat menarik. Ada banyak patung berbentuk malaikat, pendeta, ukiran wajah, dan juga miniatur bangunan kuno, termasuk ereja. Masing-masing makam punya ciri sendiri. Tergantung kedudukan orang dan keluarga yang dikuburkan. Ada yang hanya ditandai dengan nisan yang berdiri vertikal. Ada pula yang sampai dibuatkan rumah mungil dan dikubur sekeluarga di dalamnya.

“Tempat ini, bagaimanapun juga sebuah museum yang didirikan dengan tujuan menyelamatkan artefak yang kita miliki. Dan tempat ini juga baik sebagai perenungan, bahwa bangsa asing yang menjajah pernah hadir di negara ini. Mereka lahir, berkembang, bahkan juga mati di sini. Ada keluarga yang mereka tinggalkan,” tukas Manik lagi.

Dalam rekaman video Silvia Galikano, wartawan Jurnal Nasional, yang ikut plesiran Sahabat Museum ke Taman Prasasti, Minggu (17/2), terlihat bagaimana serunya jalan-jalan di kuburan. Diguide Lilik, yang kenal betul sosok-sosok dibalik nisan tersebut, satu persatu rahasia hidup penghuni makam pun terkuak. Mulai dari Jan Brandes yang menemukan Kitab Nagarakretagama dan membawanya ke Belanda. Lalu Dr. H.F. Roll, mantan Direktur Sekolah Kedokteran STOVIA (sekarang museum Kebangkitan Nasional), J.H.R. Kohler yang terkenal pada perang Aceh, Olivia Marianne Raffles isteri Thomas Stamford Raffles, dan Vader Jas.

Tapi kesempatan emas didampingi guide seperti Lilik kan tak bisa didapat setiap hari. Kunjungan saya hari ini pun tak seberuntung itu. Untungnya, Eko juga punya pilihan cerita yang berkesan juga untuk disimak. Misalnya makam Kapitein Jas yang diyakini sakral. “Dulu jasadnya pernah terlilit akar pohon sehingga tak bisa dipindahkan,” tukas pria yang menguasai tentang koleksi berkat mendampingi penelitian Lilik. “Yang ini makam isteri Raffles. Kabarnya, karena Raffles suka bunga, maka isterinya dibuatkan makam serupa kebun.”

Benarlah apa yang dikatakan Manik, bahwa Museum Taman Prasasti punya berbagai fungsi. Sebagai laboratorium prasasti tertulis. Prasastinya berupa ungkapan perasaan. Goresan motif dan ornamen pada pahatan prasasti nisan bercerita tentang perasaan yang ditinggal kerabat menemui sang pencipta. Bahkan ada patung wanita menangis yang dipesan khusus dari Milan, Italia, dengan harga mahal demi memperlihatkan rasa kehilangan seorang isteri atas suaminya. Isteri Belanda ini, kata Manik, sampai jual harta simpanan demi patung pesanan.

Hal ini menggambarkan betapa mewahnya kehidupan penjajah di atas kemiskinan bangsa Indonesia waktu itu. Nisan saja diimpor dari luar negeri. “Yang marmer dari Italia dan yang batu andesit dari India. Kata Pak Lilik, nisan yang hurufnya tercetak, berarti dipahat di Indonesia. Dan yang hurufnya timbul, dipahat di negara asal,” tukas Eko sambil menunjuk beberapa nisan berukir yang keindahannya tak terhapuskan usia dan lumut.

“Karena itu museum ini sebenarnya menyimpan banyak cerita. Anak muda sekarang tahunya kita hanya diduduki Belanda dan Jepang. Padahal di makam ini ada prasasti orang Prancis dan Inggris. Usia lahir dan meninggal di setiap makam juga memperlihatkan bahwa orang zaman dulu usianya pendek-pendek,” komentar Manik. Ini ditandai dengan salib yang ujungnya patah.

Dengan begitu banyak cerita ini, sayangnya, pihak museum sendiri belum punya data base yang memadai atas semua koleksinya. “Kita punya data koleksi kita. Tapi latar belakang perorangan yang dikubur di sini belum ada. Jadi harus meneliti sendiri ke perpustakaan di luar sana atau ke Museum Sejarah Jakarta,” ujar Kepala Seksi Prasasti, Daniel Tangibali, yang membenarkan bahwa kebanyakan penggemar museum ini memang peneliti. Khususnya tentang batu (nisan) dan sejarah.

Ini tentu menyulitkan.Karena pengunjung awam terpaksa melotot memperhatikan tulisan di tiap nisan. Sebagian tulisannya sudah memudar. Dan lagi dalam bahasa Belanda. Jadilah pengunjung hanya tahu tahun lahir dan meninggalnya orang tersebut, tanpa memahami peranannya semasa hidup. Ketiadaan data membuat petugas punya banyak keterbatasan dalam menjelaskan segala sesuatu menyangkut setiap makam. “Di sini hanya tiga orang yang bertugas. Saya pun belum setahun menjabat. Dan kita berada di bahwa museum Sejarah Jakarta. Kebanyakan tindakan atas museum ini adalah inisiatif Pak Manik,” tambah Daniel ketika ditemui di kantornya siang ini.

Mungkin ada baiknya Museum Taman Prasasti mulai menjalin kerjasama dengan para peneliti. Yang satu menyediakan lahan. Yang satunya membagi hasil. Karena terasa sekali buta arahnya mendatangi museum ini tanpa panduan. Jelas tidak semua orang punya akses berbincang dengan kepala museum. Apalagi kalau ada orang asing, yang kata Daniel, masih suka mencari jejak kakek buyutnya. Untungnya sebagian besar berhasil ketemu. Malah, tambah Manik, keturunannya itu suka memberi sejumlah uang buat pengurus untuk memelihara makam.

Kabar menyenangkan buat petugas kebersihan museum. Yang setiap pagi menyapukan daun-daun gugur di pemakaman. Meski bersih-bersih, menurut Eko, mereka tetap dilarang untuk menyentuh koleksi yang retak atau kotor.

“Itu tugasnya balai konservasi. Kira-kira setahun dua kali mereka datang membersihkan nisan yang kotor dengan alat dan metode tertentu yang mahal. Biasanya kalau datang mereka menangani sebagian koleksi. Dan kita tinggal melapor jika ada yang retak,” katanya sambil sibuk menggaruk. Oh ya, satu lagi tentang museum ini. Banyak nyamuk kebunnya. Jadi lebih baik pakai lotion anti nyamuk supaya wisata makamnya tambah romantis.


Syifa Amori

syifamori@jurnas.com