Minggu, 12 Februari 2012

Gema Dahsyat Raungan Teater Kami



Teater Kami memediasi gegerungan di rumah-rumah dan di jalan-jalan raya supaya terdengar memekakkan bagi telinga yang telah lama “tuli”

Denting merdu pergesekan sudip (sendok penggorengan) dan permukaan wajan mengalun kuat dengan birama cepat. Begitu keras hentakannya hingga pikiran Harris Priadie Bah (suami yang berprofesi sebagai sutradara) tampak menari-nari.

Semakin bertenaga “instrumen” gesek itu dibunyikan –berharmoni dengan lantunan vokal musisi bule yang berasal dari radio mungil- makin tenggelamlah sutradara ini dalam perenungan penulisan naskah yang berkepanjangan. Pertunjukan “musik kontemporer” ini bukan tampil di depan penggemar musik, melainkan terciptakan di hampir setiap malam-malamnya keluarga si sutradara idealis ini.

Gemanya membahana begitu kuat hingga memberi pengaruh besar bagi keluarga lain. Sampai-sampai rumah tangga aktor (diperankan Yanto Le Honzo) juga mengadakan pertunjukan yang tak mau kalah spektakulernya. Suami, dengan gerak dan teks teatrikalnya memerani korban yang baru saja dipotong lidahnya oleh sebuah golongan tertentu. Kemudian ia kembali membaca naskah dengan keras didampingi suara kucekan cucian sang isteri.

Syahdunya padanan vocal dan kecipak air cucian ini juga menimbulkan bunyi-bunyian baru yang besar kemungkinannya diterima sebagai musik. Musik baru yang dijuduli Harris “Gegerungan.”

Musik gegerungan penuh dengan kemangkelan yang terpendam. Rasa kesal dengan kenyataan yang melingkupi, namun terlalu tak punya daya untuk melakukan sesuatu. Kondisi pribadi yang cuma bisa menangis meraung-raung ini dimetaforkan Harris irama gesekan wajan dan kucekan cucian yang menggunung sampai memerihkan kulit isteri (diperankan Piala Dewi Lolita) si aktor.

Begitulah Teater Kami bercerita dalam lakon Gegerungan yang dipentaskan Teater Kami di Teater Kecil, Taman Ismail Kamis dan Jumat (22 dan 23/7). Teater Kami berusaha memotret banyak hal dalam Gegerungan yang dilandaskan dari interospeksi dan kritik sutradara Harris terhadap 20 tahun kehidupan berteaternya dan persinggungannya dengan keluarga.

Menurut Harris, ketika suami-suami “berproses” inilah, para isteri pun berjuang dengan keadaan ekonomi keluarga, “Kata mama minta sama papa. Kata papa minta sama mama,” terdengar rekaman suara anak kecil yang menggerutukan jawaban orang tuanya yang tidak memberinya uang.

“Bagaimana bisa rumah tangga dibangun diatas mitos-mitos kesetiaan

yang membabi buta seperti babi buta

Apakah aku harus setia menjadi tidak bahagia

Dan mati sebelum waktunya,”

Teks ini diungkapkan isteri sutradara (diperani Ribka Maulina Salibia) dengan adegan simbolis yang menampilkan suami dan isteri duduk sedikit terpisahkan. Dalam adegan ini pulalah, suami yang berprofesi sebagai sutradara menjawab curahan hati isteri yang gegerungan dengan teks-teks penuh diksi yang mempunyai dampak psikologis tertentu bagi jiwa-jiwa penonton.

Harris piawai mentranfer pesan tentang bagaimana penuh kuasanya teater sampai menghisap kesadarannya. Dari keseluruhan penampilan, bisa dibilang teks menjadi unsur terpenting yang mengambil banyak peranan. Teks ini kemudian juga diungkapkan oleh para pemain dengan intonasi yang memprovokasi atau paling tidak membuka hati mengenai kejadian macam ini yang memang banyak dialami pekerja teater dan juga banyak orang lainnya yang gegerungan karena, menurut Harris, merasa “kehilangan jalan pulang”.

“Ini sebenarnya naskah yang ingin mengangkat perjalanan kreatfi Teater Kami sekaligus menginterospeksi perjalanan 20 tahun sutradara dan aktor yang lebih kurang sama dengan kehidupan yang dihadapi aktor teater dalam kelompok Teater Kami di kehidupan nyata. Pentas ini adalah upaya penegasian dari ide yang dibentuk dalam pemanggungan ini. Diambil dari kosa kata bahasa betawi, gegerungan memiliki makna, menangis pilu dengan suara meraung-raung,” kata Harris usai pentas.

Yak berhenti di ruang-ruang rumah tangga, Harris juga memainkan harmoni suara gegerungannya dalam dimensi lebih luas, suasana pinggir jalan kota metropolitan. Bukan debat suami-isteri, melainkan padua nada dan ritme berbagai “penghuni” jalanan.

“Sedekah pak, sedekah bu,” kata seorang peminta sumbangan dengan irama yang khas setelah ia memberikan kultum singkat dan bershalawat dalam balutan baju koko dan peci. Masih di sekitarnya mahasiswa demonstran juga tengah sibuk berkoar tentang membela tanah air lewat pengeras suara portable. Keduanya mengasilkan intonasi vokal yang berbeda yang diiringi dengan teriakan perempuan gila yang bingung menanyakan keberanian suaminya. Musik gegerungan di jalan rupanya sama berisik dan membuat mirisnya.

“Ini adalah potret masif dari gegerungan yang sama dengan latar-latar yang mewakili kondisi zaman. Seperti spanduk yang menggambarkan mengenai keberadaan pribadi-pribadi yang kehilangan identitasnya dan karenanya mereka ingin ditunjukkan jalan pulangnya.”

Pertunjukan sepanjang kurang lebih 60 menit yang oenuh pergantian adegan, artistic panggung, dan musik ini terbilang padat, menghibur, dan tetap jelas menyampikan gagasannya. Apalagi musik-musik garapan Harris yang intuitif mampu membungkus lakon ini dengan keunikan yang jarang bisa ditemui dalam pertunjukan teater lain karena kekuatan karakter dalam orisinalitasnya.

Syifa Amori

Tarung dan Tari dalam Presean



Ada memar dan darah dalam presean, tapi juga ada senyum dan pelukan

Suatu sore di pinggir Pantai Kuta Seger, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, deburan ombak laut mendadak ditenggelamkan keramaian sorak sorai massa yang tengah bersuka cita menanti sebuah tontonan paling ditunggu hari itu, Presean.

Presean bukan pertunjukan tradisi biasa yang bersifat tontonan menghibur, melainkan pertarungan serius yang tak jarang melukai pesertanya. Ini adalah kesenian tradisi masyarakat Lombok yang melibatkan mental tangguh laki-laki Sasak.

Mungkin seperti berburu bagi masyarakat Indian untuk menunjukkan kematangan usia dan keberanian kaum laki-laki, Presean pun dilakukan untuk membuktikan kesiapan mental untuk bertarung secara jantan, satu lawan satu.

Nyaris mirip tari-tarian, prosesi adat ini diiringi musik tradisi ale-ale yang dimainkan secara langsung oleh pemain musiknya. Dilangsungkan dalam lingkaran massa yang berhimpitan tak sabar menunggu dimulainya pertandingan, Presean melibatkan dua orang petarung (pepadu), dua orang wasit pinggir (pakembar sedi), dan seorang wasit tengah (pakembar)

Uniknya, Presean bukanlah sebuah pertandingan yang terencana. Artinya, pepadu secara langsung dipilih wasit dari penonton yang berada diantara sesaknya lingkaran arena. Kalau pakembar yang satu sudah menyentuhkan ujung rotannya di tubuh penonton yang ia inginkan, maka pakembar lainnya mesti mencari tandingan yang sesuai di sisi lainnya. Biasanya proporsi tubuhlah yang disesuaikan, disertai dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang hanya difahami kedua wasit ini hingga akhirnya sama-sama merasa cocok dan saling mengiyakan.

Kalau sudah setimpal, penonton yang dipilih akan segera melepas pakaian. Bertelanjang dada, keduanya turun ke arena dengan wajah sumringah, antara penasaran, tertantang, dan juga sedikit ngeri. Mengenakan ikat kepala (sapuk), pepadu ini kemudian dipersenjatai sebilah rotan di tangan kanan dan perisai (ende) di tangan lainnya.

Meski situasinya menegangkan, bunyi-bunyian musik karawitan khas Lombok mencairkan suasana. Apalagi, wasit dan para tetua yang memimpin pertunjukan tak henti-hentinya bergoyang mengikuti irama musik. Dengan ikat kepala dan kaca mata hitam di wajah, tarian wasit yang sangat santai ini juga jadi hiburan dikala menunggu persiapan petarung.

Presean tidak mesti semenegangkan kedengarannya. Pasalnya, pesertanya tak selalu yang berpengalaman. Sebut saja sore ini, Rabu (3/3), Presean justru banyak diramaikan petarung-petarung amatiran. Anak remaja yang sekedar ingin adu nyali karena terdorong rasa penasaran.

Hasilnya, beberapa adegan kocak pun hadir makin meramaikan suasana. Seperti lawan yang jatuh terjengkang hingga ada pula yang lari terbirit-birit karena tak kuasa lagi menjawab serangan rotan musuhnya yang jauh lebih tangguh. Direkam dalam media video oleh para turis asing, tontonan ini memberikan kenangan tersendiri yang takkan mungkin terlupakan. Sebuah kisah pendek yang seru di pinggir pantai Seger Kuta.

Presean adalah warisan budaya turun menurun bagi masyarakat lokal. Dalam situs www.lombokbaratkab.go.id, dikatakan bahwa di Era 1980-an, Presean seringkali digelar guna menyemarakkan hari-hari besar nasional seperti 17 Agustus, hari ulang tahun suatu daerah, ataukah gawe suatu desa. Presean merupakan permainan rakyat yang dilakukan secara turun-menurun dan menuntut keberanian serta ketangkasan para pepadu yang bertanding.

Ada pula kisah yang menyatakan bahwa Presean merupakan ritual memohon hujan bagi masyarakat Sasak ketika kemarau panjang. Dalam perkembangannya, ia kemudian-sekaligus berfungsi sebagai hiburan yang banyak diminati yang tak jarang mulai sering dilombakan.


Disamping sebagai olahraga seni, Presean sarat akan beberapa nilai, seperti nilai pendidikan dalam membangun solidaritas, obyektivitas, dan kejujuran. Hal ini bisa terlihat sejak dimulainya pertandingan, dimana para pepadu yang bertanding diminta kesepakatannya, barulah bisa dilaksanakan pertandingan. Demikian pula manakala pertarungan sudah usai, para pepadu saling berangkulan dan bersalaman walaupun salah satu mengalami luka dan mengucurkan darah.

Meski berdarah-darah, Presean jauh dari kesan horor atau sarat kekerasan. Apalagi, pepadu tak jarang juga meliukkan badan mengikuti irama musik ale ale setelah beberapa detik berjibaku dengan rotan panjang lawannya. Penonton takkan terlalu lama dipaparkan adegan pukul memukul karena wasit akan segera melerai jika serangan sudah semakin tak terkontrol. Detik itu pulalah, baik pepadu maupun pakembar, dengan bersamaan mempertunjukkan gerakan tarianya masing-masing yang memukau dan tak jarang mengajak penonton yang tegang turut pula bergoyang.

Diantara suara musik yang menyihir, sorak sorai penonton yang menyemangati, serta hembusan angin pantai yang lembab, pepadu seperti semakin bergarah terlibat dalam adu rotan -yang mungkin terasa lebih menakutkan jika dilakukan dalam biasa saja.

Suasana yang agak sedikit menyihir ini, rupa-rupanya membangkitkan sisi jantan peserta untuk menunjukkan pada penonton seberapa lihai dirinya memainkan rotan sepanjang dua meter dan ende (dari kulit lembu atau sapi yang dikeringkan) itu untuk menyerang sekaligus melindungi diri dari sabetan rotan di kulit telanjang mereka.

Pertarungan ini takkan berhenti hingga salah seorang petarung berhasil melukai bagian kepala lawannya. Khususnya sampai meneteskan darah segar agar dinobatkan sebagai pemenang. Hanya saja, dalam prakteknya, banyak dari peserta yang sudah kalah telak, karena tak mampu melawan, menyerah, atau karena melanggar aturan -termasuk memukul tubuh bagian pinggang ke bawah lawannya. Belum lagi, ada beberapa petarung yang hanya sekedar pamer atau bercanda-canda di arena tanding sehingga dikeluarkan dengan tidak hormat oleh petugas yang menjaga ketertiban.

Walaupun ketangkasan dan kelincahan gerak menjadi kunci bagi pepadu untuk memenangkan pertandingan, seringkali mereka bertarung bukan untuk menang semata, melainkan menambah pengalaman dan tentu saja kebanggan. Apalagi, kelihatannya dalam Presean kali itu, semua pemain mendapat amplop berisi honor yang cukup lumayan karena telah turut partisipasi.

Diberikan amplop oleh kordinator pertandingan sambil menari-nari, pepadu yang tengah rehat diantara kerumuman tersenyum lebar. Matanya berkilat senang menyiratkan kondisi laju adrenalinnya setelah apa yang ia alami barusan.

Sambil masih terhanyut dalam serunya aksi yang mereka persembahkan barusan, para pepadu ini akan mendapatkan perlakuan atau perawatan dari wasit. Punggung dan kulit tubuh lainnya yang memar dan berdarah akan diusap-usap sedemikian rupa.

“Kabarnya, perlakuan ini disertai doa sehingga lukanya akan cepat sembuh dan tidak begitu menyakitkan,” kata Fitrina Ulfa yang datang dari Praya bersama suaminya untuk menonton Presean di Pantai Kuta. Suami Fitri rupanya juga pernah ditunjuk wasit untuk ikut berlaga saat datang menonton sebelumnya.

Bisa jadi karena kesaktian sang pakembar, atau pengaruh suasana, pepadu yang sebagian besar berdarah muda itu tetap kelihatan sumringah hingga pertandingan selanjutnya. Terlebih, seusai tanding, kedua pepadu selalu berpelukan tanda persahabatan.

Syifa Amori

“Sihir” Dalang Slamet Lewat Suket



Lewat jalinan kisah Cebolang, Dalang Slamet Gundono telah menyihir suasana perayaan Art Summit Indonesia (ASI) VI di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) menjadi sebuah perjalanan mimpi yang tak berbatas.

Bersama Cebolang, penonton diajak menyelam bersama Werkudara ke dalam samudera yang dalam, memasuki telinga Dewa Ruci (pencarian jati diri Werkudara atau Bima) dan melihat gonjang ganjing dunia, hingga ia menangis karena tak percaya lagi pada kebaikan.

Semua penonton menangis, Cebolang meneteskan air mata. Dalang sesenggrukan, pemain musiknya menangis, sindennya lupa menyanyi dan malah tersedu-sedu. Tukang rokok ikut bersedih, yang main judi bubar. Semua ikut bersedih dengan tangisan Werkudara. Tokoh wayang yang juga dikenal sebagai Bima ini urung kembali ke dunia fana yang penuh dengan kemunafikan. Namun sang Dewa Ruci menegurnya: ‘Werkudara... Urip kui kaya tanaman werkudara malah kadang disemprot pestisida... Kaya tanaman...,’” dan sang dalang pun menembang dengan ukulele yang digantungkan di lehernya.

Bersama Cebolang juga penonton diajak menyaksikan kelucuan tokoh Among Trusta (diadaptasi menjadi Parto) yang memainkan penggalan lakon Kumbayana dengan begitu menggelitik sambil tetap mengedepankan nilai-nilai soal menepati janji dan tak asal obral omongan pada rakyat. Yaitu ketika Kumbayana terpaksa menikahi kuda betina karena telah bersumpah akan meminang perempuan yang bisa membantunya menyeberangi lautan luas untuk menuju Jawa.

Dalang Slamet Gundono, bersama Komunitas Wayang Suketnya, memang membawakan kisah Minggatnya Cebolang (penggalan fragmen Serat Centini), namun ia tak menjabarkannya dengan “telanjang” dan hampa. Pentas malam itu adalah sebuah perwujudan dari pertunjukan multi-dimensi yang berlapis-lapis, dan karenanya, terasa sangat kaya dan memanjakan setiap indera.

“Saya memang memilih untuk keluar masuk antara adegan meditative dan yang stimulatif, karena Cebolang memang bukan sebuah karya sastra yang datar. Ketika ini harus dipanggungkan, maka tantangannya bagi saya adalah memvisualisasikannya dengan menarik tanpa kehilangan lapisan-lapisan perjalanan sufinya yang berbarengan dengan perjalanan nafsunya yang sama-sama ekstrim. Maka saya harus mengontrol emosi untuk menciptakan suasana yang berganti dengan cepat ini,” kata Slamet Gundono ketika ditemui dibelakang panggung usai pementasan di GKJ, Rabu (8/10).

Cebolang yang minggat dari rumah dan terpuruk dalam godaan duniawi dengan mengumbar hasrat seksual digambarkan menemui berbagai guru terhormat dan kyai, hingga orang buruk rupa, yang mengajarkannya banyak hal soal kehidupan.

Cebolang terus mengembara mencari jati diri sambil menjalani carut-marut kehidupan. Sampai dia melampiaskan nafsu syahwatnya dengan ronggeng, janda suci, bahkan dengan penari reog. Akhirnya dia bertemu dengan seorang petapa suci yang mengajarinya kisah Dewa Ruci hingga ia menemukan tuhan dan jati dirinya.

“Tentu kami tidak mementaskan keseluruhan kisah Cebolang, karena durasinya akan menjadi terlalu panjang. Makanya kami banyak diskusi, dan Slamet juga terus membaca untuk memilih dengan cermat adegan mana yang akan ia angkat dan yang dipotong,” kata Elizabeth yang sepanjang pertunjukan duduk mendampingin Slamet sambil sesekali membacakan dengan lembut teks-teks sastrawi Serat Centini yang diadaptasinya.

Sambil mengisahkan perjalanan Cebolang, panggung juga menampilkan pentas sederhana tentang kisah di sebuah rumah dengan tirai, kasur, bahkan portal yang dijaga seorang hansip.

Di saat yang sama pula, Slamet Gundono yang mementaskan fragmen petikan dari Serat Centini adaptasi Elizabeth D. Inandiak (wartawan Prancis yang telah lama mendalami kebudayaan Indonesia) juga menampilkan sebuah pertunjukan musik yang dibawakan sepenuh jiwa dengan menghadirkan nyanyian hati yang kadang pilu, bersemangat, penuh canda, dan kadang begitu penuh amarah.

Dalam menampilkan musik ini, sang Dalang kreatif yang bertubuh tambun ini tak pernah kehabisan ide menarik perhatian penonton dan menaikkan mood. Ia kerap menembangkan puisi-puisi yang menjadi narasi dan dialog-dialog Cebolang diiringi gamelan yang dimainkan begitu kontemporer. Begiotu juga wayang suketnya, Dalang Slamet Gundono menjadikan apa pun sebagai wayangnya. Mulai dari wayang kulit, batu, aktor lain, hingga dirinya sendiri menjadi wayang yang “digerakkan” penceritaan sang dalang.

Wajar kalau Minggatnya Cebolang sering terasa keluar masuk antara absurditas dan realitas, modernitas dan tradisionalitas, terang dan samar-samar. Namun, dengan sangat jenius ia meramu semua unsur ini begitu harmonis sehingga enak dinikmati, memukau hingga akhir lampu panggung dipadamkan.

Sambil menghipnotis dengan aksi multidimensinya, Slamet sangat berhasil mentransfer nilai yang ingin disampaikannya lewat lakon tersebut, meski bahasa verbalnya terbilang sulit difahami.

Pementasan Wayang Suket Minggatnya Cebolang masih merupakan rangkaian kegiatan Art Summit VI 2010, yaitu sebuah Festival Internasional seni pertunjukan kontemporer yang digelar di Jakarta sejak 4 Oktober hingga 24 Oktober mendatang. Ajang internasional yang diselenggarakan oleh Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata ini juga akan menampilkan 11 grup musik, teater, dan tari kontemporer kondang dengan reputasi nasional hingga internasional dari Korea Selatan, Jerman, Amerika Serikat, Austria, Belanda, dan tentu saja dari Indonesia sebagai tuan rumah.

Syifa Amori

Membeberkan Potensi Seni Keramik

Perkembangan seni keramik yang sedemikian “galak” sudah sepatutnya terus diikuti perhatian dan apresiasi publik

Mendengar kata keramik, secara tradisional pasti akan terpikirkan barang-barang pottery, yaitu kerajinan dari tanah liat yang membuat pot, vas, mangkuk, piring, dan berbagai hiasan atau pun benda fungsional lainnya. Lalu, kemanakah imajinasi akan melayang begitu keramik disandingkan dengan kata “kontemporer”. Selain terbersitkan keramik dalam konteks seni rupa, tentu juga ada pertanyaan besar, bagaimanakah “perwajahan” dari seni rupa keramik kontemporer ini.

Pameran Jakarta Contemporary Ceramics Biennale #1 (JCCB #1) yang di Galeri North Art Space di Pasar Seni ini dibuka sejak Sabtu (19/12) lalu ini mencoba merespon keingintahuan itu dengan mendisplay karya dari sekitar 40-an senimankeramik dalam dan luar negeri. Berlangsung hingga 20 Januari 2010 mendatang, pameran berskala internasional ini memiliki peran utama sebagai wadah sekaligus media untuk mengangkat seni keramik ke ruang publik. Pada kelanjutannya tentu saja menghadirkan potret perkembangan seni keramik kontemporer.

“Sebelumnya, seniman keramik lebih serang berpameran bersama-sama dengan perupa lainnya. Kalau pun ada pameran khusus keramik, tapi tidak terlalu besar. Dengan adanya pameran yang berskala internasional seperti ini, persoalannya jadi semakin terbaca. Kita jadi tahu bahwa secara artistik-seni karya seniman keramik lokal ternyata bersaing dengan luar negeri,” kara kurator JCCB #1 Rifky Effendy saat diwawancarai, Jumat (8/1).

Apa yang diutarakan oleh Rifky ini, bisa terefleksi ketika memperhatikan karya-karya yang dipamerkan di sana. Sebutlah seniman keramik Albert Yonathan Setyawan dengan karyanya Horizon (colored clay, glazed, decals Variable dimension, 2009) dan Tranquility (Stoneware glazed, decals variable dimension, 2009).

Kedua karya Albert ini memberikan efek ”kesederhanaan” yang menyejukkan, khususnya dalam hal pewarnaan dan bentuk yang mengharmonisasikan figur-figur tertentu. Yaitu figur yang selama ini mungkin ”ditangkap” awam sebagai simbol pembawai damai, seperti figur-figur mirip malaikat bersayap atau hewan-hewan yang menjadi tanda dari ”kebijaksanaan” dan ”kebajikan” alam, semisal ikan.

Detail karyanya yang sesungguhnya tidak terlalu kompleks, namun terlihat istimewa berkat dukungan gaya repetisinya. Alhasil, muncul kesan seolah karya ini bangkit dari sebuah konsep minimalis yang tetap berbobot.

Dalam catatan mengenai Albert, dikatakan bahwa karya Albert mengeksplorasi idenya dalam perwujudan tubuh dan eksistensi manusia. Karenanya, karyanya seolah mempertanyakan keterkaitan antara manusia, hewan, tumbuhan, atau juga kombinasi dari kesemuanya. Metode repetisinya yang disajikan dalam format geometris seperti lingkaran atau segitiga dimaksudkan untuk mengemukakan renunangan sang seniman; kontemplasi dan spiritualitasnya, struktur dan ketenangannya, juga kesendirian sekaligus kebersamaannya.

”Secara wacana dan eksplorasi artisitik, seniman Indonesia sama sekali tidak ketinggalan, namun akan tetap sulit untuk terus menyamain kemajuan seniman luar negeri yang terdukung secara infrastruktur. Mereka menang dalam hal teknologi sehingga memungkinkan penggarapan teknis tanpa berbatas, begitu juga soal realisasi ide, lebih besar kemungkinannya,” kata Rifky.

Awalnya keramik lebih sering didefinisikan sebagai suatu hasil seni dan teknologi untuk menghasilkan barang dari tanah liat yang dibakar, seperti gerabah, genteng, porselin, dan sebagainya. Tetapi saat ini tidak semua keramik berasal dari tanah liat. Definisi pengertian keramik terbaru mencakup semua bahan bukan logam dan anorganik yang berbentuk padat. Perkembangan teknologi juga makin memungkinkan ketiadabatasan penggunaan media dan pengolahan sehingga seniman makin bisa memaksimalkan kreativitasnya. Sayangnya ini lebih banyak terjadi di dunia internasional, ketimbang di dalam negeri.

Beberapa seniman luar negeri yang terlibat dalam pameran dan bisa jadi sedikit gambaran perkembangan seni keramik internasional adalah perupa Ahmad Abu Bakar (Singapura), Ahmad Roslan dan Umibaizurah Mahirismail (Malaysia), Krisaya Leunganantakul (Thailand), dan Hadrian Mendoza (Philipinnes).

Dalam pengantar kuratorialnya, Rifky mengatakan bahwa hingga muncul revolusi industri di Eropa, keramik mengalami industrialisasi, tetap diproduksi untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Seperti industri ubin, perlengkapan domestik hingga teknologi. Begitu pun dengan benda-benda seni maupun dekorasi, keramik masih tetap mendapat tempat. Dalam budaya masyarakat di Asia, keramik mempunyai tempat yang lebih luas bahkan dalam beberapa hal sangat penting, berkaitan dengan fungsi maupun ritual . Hal ini juga mencerminkan bahwa ketersediaan bahan tanah lempung dan bahan lainnya menjadi salah adanya budaya keramik. Alih-alih bahwa bagi beberapa budaya, seperti China, Persia, Jepang , keramik telah menyatu dalam kehidupan masyarakat sebagai suatu bagian identitas budaya mereka.

Sementara di dalam negeri, seniman yang konsisten pada jalurnya tetap berusaha berkembang dalam keterbatasan. Misalnya adalah bukti karya yang mengkreasikan keramik menjadi sebuah seni instalasi, ketimbang hanya melulu menyempurnakan teknik yang tidak terdukung oleh teknologi memadai. Dalam bingkai seni instalasi ini, keramik kemudian tidak menjadi objek semata, tapi juga media dalam terciptanya karya baru, instalasi tersebut.

Misalkan saja karya Ting* (stop motion animation with porcelain tableware single channel video with tableware installation, 2008). Karya ini berbentuk sebuah lemari gelas yang seolah-olah tengah “menumpahkan” tumpukan koleksi gelas, tatakan, dan piring porselennya. “Tumpahannya” yang dimiripkan dengan karakter genangan air yang terus mengalir di lantai -dalam bentuk jejak-jejak gelas dan piring porselen- akhirnya berhenti di satu titik tertentu berupa tumpukan porselen tersebut. Di atas lemari kayu juga diletakkan televisi yang layar kacanya menampilkan tumpukan alat-alat makan pecah-belah tersebut.

Meskipun karya porselennya sendiri tidak menampilkan kebaruan ide, karena berupa alat-alat makan pada umumnya, tetapi karya dari Tromarama ini menampilkan sebuah konstruksi seni rupa instalasi yang baru dan berdiri sendiri secara utuh. Ini barangkali bisa dianggap sebagai salah satu bentuk dari seni keramik kekinian –kontemporer.

“Bagi kami, seni adalah taman bermain, tempat dimana kita bebas berimajinasi. Kami suka membayangkan benda-benda keseharian bisa bergerak seolah mereka bernyawa. Ini makanya kami suka memakai teknik stop-motion. Ting* seperti berusaha mengubah sesuatu menjadi sesuatu yang lain dan tidak seharusnya. Bahkan hal terkecil dan paling tidak diperhatikan pun bisa memiliki cerita,” ujar sang seniman, seperti yang diungkapkan di katalog pameran. Tromarama terdiri atas tiga seniman, Ruddy Alexander Hatumena, Herbert Hans Maruli, dan Febie Babyrose.

Karya yang brilian ini, ditata sedemikian rupa sehingga menampilkan kemiripan “gerak” dengan langkah kaki anak-anak yang sedang mengendap-endap berusaha kabur dari tempat dimana mereka seharusnya sedang berada karena ingin berkumpul dan bermain di luar.

Asmudjo Jono Irianto, yang juga mengkuratori JCCB #1, kemudian berusaha menjelaskan gejala kecenderungan artistik ini dalam pengantar kurasinya. “Beberapa tahun terahir ini cukup banyak seniman keramik yang bisa meleburkan ke dalam medan seni rupa kontemporer. Agaknya dorongan untuk mencari alternatif dari seni lukis dan media baru, membuka peluang bagi para seniman keramik untuk masuk dalam wilayah produksi dan konsumsi seni rupa kontemporer. Nama-nama seperti F. Widayanto, Titarubi, Nurdian Ichsan, Lie Fhung, Albert Yonathan, Nadya savitri, Noor Sudiyati, Tisa Granicia, Endang Lestari merupakan nama-nama yang juga tercatat dalam medan seni rupa kontemporer Indonesia,” kata Asmudjo.

Selain nama-nama tersebut, lanjut Asmudjo, beberapa seniman keramik dalam bienal ini memang muncul dengan semangat studio keramik mandiri, tanpa terlalu peduli pada fenomena seni rupa kontemporer. Ada Evy Yonathan, Ivan, Ika Burhan, dan Ira Suryandari, yang mewarisi semangat ketangguhan seniman keramik mandiri.

”Dalam beberapa hal sosok mereka mengingatkan semangat “truth to the material” ala contemporary craft. Menariknya, beberapa dari mereka mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan keramik hanya dari kursus keramik. Barangkali justru karena itu, sebagai under-dog, mereka memiliki semangat militan.”

Militansi sepertinya memang perlu bagi para seniman keramik ini untuk terus survive, berkembang, dan bersaing. Ini, menurut Rifky, merupakan tantangan yang menimpa seniman keramik di seluruh belahan bumi. Hanya saja bentuk kendalanya agak berbeda. Katakanlah, di Eropa, sebagai basis dan akar seni lukis, seni keramik jelas menjadi marjinal, meski tetap berkembang dalam ”kotaknya” sendiri. Perkembangan ini, seperti yang diungkap sebelumnya, adalah berkat infrastruktur yang mendukung para seniman di luar negeri untuk berkreasi dan bereksplorasi.

Sedangkan di Indonesia, perkembangan justru dihambat infrastruktur, meskipun tiada pengkotakkan wilayah khusus bagi seni keramik, sehingga akan lebih mudah bagi senimannya untuk bergerak.

Sesuai dengan yang diutarakan Rifky dalam wawancara, ”Di Indonesia, seni rupa tidak establish sebagai wilayah khusus, menyebabkan seniman keramik kontemporer di Indonesia tidak berhadapan secara diametrikal dengan seni rupa kontemporer. Karena itu mudah saja bagi seniman keramik di Indonesia menjadi bagian dari seni rupa kontemporer. Hal ini di antaranya disebabkan pula belum establish-nya infrastruktur seni rupa kontemporer di Indonesia, sehingga kebutuhan dan kecanggihan untuk melakukan dan membenarkan eksklusi terhadap praktek seni rupa yang tidak sejalan dengan paradigmanya (misalnya: seni keramik) boleh dikatakan tak terjadi.”

Syifa Amori