Minggu, 12 Februari 2012

Metafora Sosial Dalam Gerak Teater Tetas

Peristiwa kerusuhan di negeri ini mungkin berasal dari cinta yang tak terbendung dan meledak sebagai kemarahan, seperti yang menimpa Aswatama dan Banowati

Diantara sekumpulan pangeran Astina yang berlatih, ada satu sosok paling menarik perhatian. Bukan karena penampilan fisiknya mempesona atau pun karena kemampuan bertarungnya menonjol, tetapi karena ia paling sering melakukan “kekonyolan”. Namanya Aswatama, anak pendeta Durna (guru pada ksatria Hastina) dan Dewi Wilutama (bidadari yang mengubah diri menjadi seekor kuda).

Terlihat dari karakter gerakannya, Aswatama adalah sosok yang selalu ketinggalan dan tidak maksimal. Ia banyak melakukan kesalahan dan kadang malah berlebihan. Dalam sebuah gerakan yang mirip dasar gerakan kuda (menapakkan kaki kanan ke depan dan kiri ke belakang secara bergantian seperti penari kuda lumping), Aswatama bergerak terus menerus meski teman seperguruannya telah lama selesai. Alhasil, Aswatama sering dipecundangi dan dijadikan bahan cemooh.

Meski begitu, ada satu perempuan cantik luar biasa yang tetap tak berkeberatan memamerkan muatan sensualitasnya secara maksimal dihadapan Aswatama. Sampai-sampai Aswatama merasa bahwa apa yang diperlihatkan Banowati itu hanyalah untuk dirinya.

“Bahkan Tuhan pun lupa:

Kenapa aku mencintaimu...

...

tapi kau telah menggodaku

semenjak pertama kali melintas...”

(puisi “Banowati” karya Gunawan Maryanto)

Puisi ini dituturkan Banowati yang diperankan 4 karakter sebagai simbol 4 sifat manusia, yaitu nafsu aluamah (pemenuhan biologis), amarah (angkara murka), supiah (kenikmatan atau birahi), dan mutmainah (kemurnian dan kejujuran). Ini juga disimbolkan oleh warna-warna kain yang melingkar di pinggang Banowati, yaitu merah, kuning, hitam, dan putih.

“Untuk tokoh Banowati, dalam wayang, memang sangat mungkin jika ia mengatakan “kau”, maka akan ada banyak laki-laki yang merasa bahwa kata itu ditujukan pada diri mereka,” kata sutradara Ags. Arya Diyapana usai pementasan karyanya Raung Kuda Piatu di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki malam itu, Rabu (13/5).

Raung Kuda Piatu malam itu menggantikan peranan verbal dengan olah gerak yang sangat komunikatif. Pertimbangan Ags. Arya untuk menampilkan gerak representatif ini karena orang sudah terlalu banyak dengar omongan, apalagi dalam suasana pemilu saat ini. Olah gerak ini juga menguatkan unsur metafor yang diangkat Ags. Arya terhadap peristiwa nyata yang terjadi, khususnya peristiwa kerusuhan Mei ’98. “Banyak seniman yang memindahkan peristiwa ke atas panggung dengan banal. Kami tidak ingin seperti itu. Meskipun menggarapnya tidak mudah dan bisa diinterpretasikan macam-macam, tergantung pengalaman setiap penonton.”

Gerak menjadi bahasa ungkap yang dipilih malam itu. Gerak yang dimaksimalkan agar bisa meng-cover peranan kata ini dilakukan bukan dengan koreografi, tapi lewat eksplorasi pribadi pemain dan sutradara.

“Ada beberapa elemen olah gerak yang dipadukan dalam Raung Kuda Piatu, ada gerakan bela diri Bangau Putih, Capoeira, dan breakdance,” kata Lukman “Kancil” Dardiri, salah satu pemain yang mengungkapkan bahwa kekuatan lakon kali ini adalah keselarasan gerak dan ekspresi kelompok secara keseluruhan.

Pementasan lakon Raung Kuda Piatu malam ini memang tidak terlalu menitikberatkan adegan yang dimainkan oleh pemain tertentu. Bisa dibilang, tokoh utama Aswatama juga tidak mendapat porsi yang secara signifikan lebih besar daripada yang lainnya. Karena setiap tokoh punya porsi yang sama, maka harmoni gerak –yang sering dilakukan bersamaan- diantara semua pemain menjadi poin penting.

“Yang paling sulit memang menyamakan rasa diantara pemain. Meskipun tidak mesti sama dan berbarengan secara sempurna, tapi tetap mesti ada kesatuan rasa yang jelas tergambar,” kata Lukman seperti juga yang dinyatakan oleh Pengarah Gerak Wiwiek HW.

Wiwiek membantu agar hasil eksplorasi gerak pemain bisa dicerna penonton dengan menguasai ruang gerak dan kordinasi tubuh masing-masing sambil tetap menjaga intensitas dan tenaga. “Pemain sudah menikmati dan memahami yang mereka lakukan, saya membantu menyatukan rasa diantara kelompok ini dan sinkron dengan apa yang ingin mereka ungkapkan,” kata Wiwiek.

Olah gerak kemudian dituntut untuk memberikan pemahaman alur cerita kepada penonton, selain dari nilai estetikanya sendiri. Untuk kepentingan ini, Nanang Hape menggarap musik dengan pilihan karakter bunyi yang mendukung adegan. Nanang diberi ruang untuk mengeksplor berbagai bunyi-bunyian dengan bebas. Termasuk dengan memposisikan musik gamelan sebagai musik pada umumnya, sebagaimana alat musik barat yang ia gunakan, sehingga menjadi harmoni pendukung adegan.

“Musik di Raung Kuda Piatu dimaksudkan untuk membantu agar alur cinta tidak terputus tanpa terlalu “bercerita” supaya tidak mengganggu konsep teaternya sendiri. Dalam teater yang bukan verbal seperti ini, musik “mendorong” dari belakang agar penonton memahami cerita atau paling tidak meresapi nuansanya sesuai pengalaman masing-masing,” kata Nanang yang dalam eksplorasinya menggarap musik Raung Kuda Piatu menemukan bunyi harmoni baru gamelan slendro yang bertemu alat musik barat.

Unsur gerak yang dikuatkan musik ini menampilkan secara utuh metafor Ags. Arya dengan tetap memelihara alur. Termasuk membantu memahami makna simbolis kehadiran dua karakter yang selalu berlawanan sebagai perlambang baik dan buruk.

Perwujudan dari pertentangan baik dan buruk ini muncul di atas panggung dikala Aswatama sedang gusar dan risau. Juga ketika terjadi perang Baratayudha dimana kstaria yang saling bertempur tidak mendapatkan apa-apa dari keserakahan mereka untuk menguasai jagad raya -disimbolkan dengan nasi tumpeng- kecuali kematian mereka sendiri. Aswatama pun sama, ia tak mendapatkan apa-apa meski tetap hidup dan telah menghabisi nyawa Banowati yang dianggap mengkhianatinya, karena menjalin cinta diam-diam dengan Arjuna. Situasi ini dilanjutkan adegan penutup, dimana pemain sisi baik dan buruk bergerak mewakili benak Aswatama yang meraung-raung dalam kesedihan atas pencapaian akan kehampaan.

Tapi kau terlanjur menggodaku

bau tubuhmu telah melekat di paru-paruku

menjelma radang di malam-malam panjang

bagaimana bisa aku meninggalkanmu

-dalam keadaan seperti itu

Bagaimana aku bisa meninggalkanmu

-dalam kesedihan serupa itu

Bahkan Tuhan pun lupa:

Kenapa aku mencintaimu

Syifa Amori

Tidak ada komentar: