Minggu, 12 Februari 2012

Meresapi Luka Hati Gendari


Gendari Elly Luthan memotret sosok Gendari dari sisi pengorbanan dan pengabdian seorang perempuan

Gendari dikenal sebagai tokoh anatagonis dalam perwayangan. Dewi yang mempunyai 100 orang anak ini bersifat bengis dan pendendam. Kebencian kepada Pandu yang tak pernah memedulikan perasaan cintanya tak pernah pupus hingga turut mengalir di dalam darah keseratus anaknya (Kurawa). Dendam kesumat ini juga yang akhirnya memecah perang Bharatayudha dimana Kurawa berseteru dengan Pandawa (anak-anak Pandu dan Kunti) dalam memperebutkan tahta Astina.

Berangkat dari kisah ini, Elly Luthan menggarap teater tari berjudul Gendari yang lebih mengedepankan sisi keperempuanan Gendari, dimana ia menjadi “korban” dari ketidakadilan yang ia terima sepanjang hidupnya.

“Peristiwa ini bisa terjadi pada siapapun. Saya harus masuk pada relevansi sekarang. Bukan berarti membenarkan apa yang dilakukan Gendari, karena suaminya, Drestarasta yang buta, juga belum tentu menerima segala kondisi yang menimpanya,” kata koreografer Elly Luthan usai pementasan Gendari di Gedung Kesenian Jakarta, Senin (8/6).

Tokoh perempuan dalam wayang yang menginpirasi kehidupan kaum ibu masa kini ini diperlihatkan Elly dengan menghadirkan sekelompok ibu Jawa Timur-an yang dikisahkan tengah bercengkrama dan guyon di suatu sore. Sambil nembang dan menari bersama, sebagian perempuan ini menyampaikan kekagumannya atas perilaku Dewi Kunti dan membandingkannya dengan kehidupan mereka sebagai isteri dan seorang ibu. Yang lainnya menanggapi sambil menyinggung dengan -agak segan- mengenai Gendari yang dianggap membawa sejarah kelam.

Maka sebuah pertanyaan pun terucapkan, “Siapakah Gendari dan bagaimanakan kisahnya?”

Pertanyaan ini menjembatani adegan penuh dialog tersebut adegan tarian yang lebih serius. Seolah masuk ke dalam dunia Gendari yang muram, pencahayaan panggung pun sedikit meredup. Alunan Gamelan dan rintihan penembang yang pilu mengantar penonton pada kesakitan hati Gendari. Sebait puisi pun mengisi layar di kedua ujung panggung:

“Antara cinta dendam dan rindu yang membara

Demikianlah sang Putri menjalani kehidupan

Menderita, terpuruk, tersandung

Dalam angan yang kian rapuh”

Kisah Gendari dibuka dengan atmosfer yang begitu membuat depresi lewat iringan gamelan (dikomposisikan oleh Blacius Subono) yang kedengaran menyayat dan gerakan tari-tarian Jawa yang lembut, namun penuh kekuatan.

Seperti hanya seonggok barang, Gendari dihadiahkan Pandu (diperankan Slamet Rahardjo) kepada kakaknya yang buta Drestarasta (Sulistyo Tirtokusumo). Gendari murka dalam kebisuan, namun ia menari, mengumandangkan kisahnya yang disia-siakan oleh sang pujaan hati. Sembilan penari perempuan dalam bedhayan-lah yang mengemukakan perih ini.

“Ada wayang atau langendrian -dimana dialog digantikan tembang- untuk menggambarkan suatu keadaan dalam lakon, tapi saya memilih bedhayan. Dalam bedhayan, semua mengalir tanpa melebihkan atau mengurangi. Jadi tidak didramatisir. Semua harus merasakan yang sama. Menyatu,” kata Elly menjelaskan konsep “sembilan adalah satu dan satu adalah sembilan” dalam koreografi bedhayannya malam itu.

Drestarasta dan Gendari masing-masing diperankan juga oleh sembilan penari yang membawakan berbagai emosi konflik diantara keduanya, dimana para penari laki-laki menggunakan properti bambu untuk menunjukkan amarah batinnya.

Penggunaan sembilan penari ini juga untuk memerankan karakter tertentu sekaligus melebur untuk memperkuat suasana maupun menarikan simbolisasi cerita, misalnya ketika kesembilan penari itu menari dengan penutup mata.

“Saya ingin memperlihatkan ini sebagai persoalan antara Kunti dan Gendari. Semestinya Gendarilah yang diperistri Pandu, tapi ternyata diberikan ke kakaknya yang buta. Demi pengabdiannya pada suami, kesembilan penari juga menutup matanya dengan kain sebagai bukti menyamakan keadaan diri dengan Drestarasta,” kata Deddy Luthan yang bertindak sebagai penata artistik Gendari.

Gendari yang diposisikan untuk menerima nasibnya dengan lapang dada semakin merasa tertekan hingga di sebuah malam yang pekat, Gendari mengeluarkan gumpalan darah kental dari rahimnya yang kemudian tercerai berai menjadi seratus bayi manusia.

Takdir bagi perempuan yang terpilih sebagai sarana lahirnya benih

Inilah pengorbanan yang sesungguhnya

Segala derita diterima dan dijalani dengan penuh keihklasan dan kasih yang tulus

Untuk suami, anak, dan keluarganya

Yang dilandasi atas kesetiaan cinta sejati

Begitulah tindak wanita utama

Begitulah yang disampaikan Pandu yang makin membakar hati Gendari. Api membara di hatinya tercermin dari gerakan tari gemulai namun gagah saat ia berdiri di atas punggung anak-anaknya (beberapa penari laki-laki). Adegan dimana seorang Gendari berdiri diatas anaknya yang bersujud ini menyiratkan proses transfer dimana perasaan ibu akan terus terbawa oleh darah daging yang dilahirkannya. Apalagi ibu yang merasa tersia-siakan.

Menurut Deddy, batin Gendari sendiri sebetulnya berperang menghadapi dirinya dan Kunti yang menjadi ibu Pandawa. Dari situlah konflik dimulai hingga klimaks dimana keputusasaan Drestarastra memuncak setelah peperangan yang membunuh keseratus anaknya dan mengembalikan Pandawa ke kursi kekuasaan.

Layaknya sebuah narasi, kisah Gendari bergulir perlahan dan pasti dengan adegan yang terus menerus menyambung dari tari yang satu ke tarian selanjutnya tanpa ada lagi dialog, kecuali dialog singkat yang dibarengi tembang dan dilengkapi syair pada layar.

Pengembangan tariannya sendiri, menurut Elly, dilakukan dengan me-reinterpretasi berbagai format yang ada pada tari klasik Jawa (terutama bedayahan) seperti wiring, watang, kiprah, dan sebagainya. Termasuk memasukkan unsur gerakan dasar taraian Pakarena dan Dayak, serta Minang. “Basic saya Jawa, tapi seiring perjalanan, banyak unsur tarian daerah lain yang turut melebur, karena kesenian bagi saya tak berbatas. Mungkin penari pun nggak tahu karena sudah diramu sedemikian sehingga rasanya Jawa,” tambah Elly.

Begitu pula dengan garapan musik. Komposer yang juga dikenal sebagai dalang kawakan, Blacius Subono membuat komposisi gamelan Jawa dengan pendekatan avant garde, namun dengan tetap menyerap komposisi konvensional Jawa. Kehadiran Blacius, Slamet Rahardjo, dan juga penari klasik papan atas Sulistyo Tirtokusumo, menguatkan kesan pertunjukan oleh para penari jebolan ISI Surakarta dan murid Elly Luthan. Kehadiran para ibu dari Himpunan Keluarga Besar Suarabaya (HIKSA) di awal adegan juga menambah nilai dan pengalaman rasa berbeda yang bisa diserap dari Gendari kali ini.

Syifa Amori

Tidak ada komentar: