Minggu, 12 Februari 2012

Gema Dahsyat Raungan Teater Kami



Teater Kami memediasi gegerungan di rumah-rumah dan di jalan-jalan raya supaya terdengar memekakkan bagi telinga yang telah lama “tuli”

Denting merdu pergesekan sudip (sendok penggorengan) dan permukaan wajan mengalun kuat dengan birama cepat. Begitu keras hentakannya hingga pikiran Harris Priadie Bah (suami yang berprofesi sebagai sutradara) tampak menari-nari.

Semakin bertenaga “instrumen” gesek itu dibunyikan –berharmoni dengan lantunan vokal musisi bule yang berasal dari radio mungil- makin tenggelamlah sutradara ini dalam perenungan penulisan naskah yang berkepanjangan. Pertunjukan “musik kontemporer” ini bukan tampil di depan penggemar musik, melainkan terciptakan di hampir setiap malam-malamnya keluarga si sutradara idealis ini.

Gemanya membahana begitu kuat hingga memberi pengaruh besar bagi keluarga lain. Sampai-sampai rumah tangga aktor (diperankan Yanto Le Honzo) juga mengadakan pertunjukan yang tak mau kalah spektakulernya. Suami, dengan gerak dan teks teatrikalnya memerani korban yang baru saja dipotong lidahnya oleh sebuah golongan tertentu. Kemudian ia kembali membaca naskah dengan keras didampingi suara kucekan cucian sang isteri.

Syahdunya padanan vocal dan kecipak air cucian ini juga menimbulkan bunyi-bunyian baru yang besar kemungkinannya diterima sebagai musik. Musik baru yang dijuduli Harris “Gegerungan.”

Musik gegerungan penuh dengan kemangkelan yang terpendam. Rasa kesal dengan kenyataan yang melingkupi, namun terlalu tak punya daya untuk melakukan sesuatu. Kondisi pribadi yang cuma bisa menangis meraung-raung ini dimetaforkan Harris irama gesekan wajan dan kucekan cucian yang menggunung sampai memerihkan kulit isteri (diperankan Piala Dewi Lolita) si aktor.

Begitulah Teater Kami bercerita dalam lakon Gegerungan yang dipentaskan Teater Kami di Teater Kecil, Taman Ismail Kamis dan Jumat (22 dan 23/7). Teater Kami berusaha memotret banyak hal dalam Gegerungan yang dilandaskan dari interospeksi dan kritik sutradara Harris terhadap 20 tahun kehidupan berteaternya dan persinggungannya dengan keluarga.

Menurut Harris, ketika suami-suami “berproses” inilah, para isteri pun berjuang dengan keadaan ekonomi keluarga, “Kata mama minta sama papa. Kata papa minta sama mama,” terdengar rekaman suara anak kecil yang menggerutukan jawaban orang tuanya yang tidak memberinya uang.

“Bagaimana bisa rumah tangga dibangun diatas mitos-mitos kesetiaan

yang membabi buta seperti babi buta

Apakah aku harus setia menjadi tidak bahagia

Dan mati sebelum waktunya,”

Teks ini diungkapkan isteri sutradara (diperani Ribka Maulina Salibia) dengan adegan simbolis yang menampilkan suami dan isteri duduk sedikit terpisahkan. Dalam adegan ini pulalah, suami yang berprofesi sebagai sutradara menjawab curahan hati isteri yang gegerungan dengan teks-teks penuh diksi yang mempunyai dampak psikologis tertentu bagi jiwa-jiwa penonton.

Harris piawai mentranfer pesan tentang bagaimana penuh kuasanya teater sampai menghisap kesadarannya. Dari keseluruhan penampilan, bisa dibilang teks menjadi unsur terpenting yang mengambil banyak peranan. Teks ini kemudian juga diungkapkan oleh para pemain dengan intonasi yang memprovokasi atau paling tidak membuka hati mengenai kejadian macam ini yang memang banyak dialami pekerja teater dan juga banyak orang lainnya yang gegerungan karena, menurut Harris, merasa “kehilangan jalan pulang”.

“Ini sebenarnya naskah yang ingin mengangkat perjalanan kreatfi Teater Kami sekaligus menginterospeksi perjalanan 20 tahun sutradara dan aktor yang lebih kurang sama dengan kehidupan yang dihadapi aktor teater dalam kelompok Teater Kami di kehidupan nyata. Pentas ini adalah upaya penegasian dari ide yang dibentuk dalam pemanggungan ini. Diambil dari kosa kata bahasa betawi, gegerungan memiliki makna, menangis pilu dengan suara meraung-raung,” kata Harris usai pentas.

Yak berhenti di ruang-ruang rumah tangga, Harris juga memainkan harmoni suara gegerungannya dalam dimensi lebih luas, suasana pinggir jalan kota metropolitan. Bukan debat suami-isteri, melainkan padua nada dan ritme berbagai “penghuni” jalanan.

“Sedekah pak, sedekah bu,” kata seorang peminta sumbangan dengan irama yang khas setelah ia memberikan kultum singkat dan bershalawat dalam balutan baju koko dan peci. Masih di sekitarnya mahasiswa demonstran juga tengah sibuk berkoar tentang membela tanah air lewat pengeras suara portable. Keduanya mengasilkan intonasi vokal yang berbeda yang diiringi dengan teriakan perempuan gila yang bingung menanyakan keberanian suaminya. Musik gegerungan di jalan rupanya sama berisik dan membuat mirisnya.

“Ini adalah potret masif dari gegerungan yang sama dengan latar-latar yang mewakili kondisi zaman. Seperti spanduk yang menggambarkan mengenai keberadaan pribadi-pribadi yang kehilangan identitasnya dan karenanya mereka ingin ditunjukkan jalan pulangnya.”

Pertunjukan sepanjang kurang lebih 60 menit yang oenuh pergantian adegan, artistic panggung, dan musik ini terbilang padat, menghibur, dan tetap jelas menyampikan gagasannya. Apalagi musik-musik garapan Harris yang intuitif mampu membungkus lakon ini dengan keunikan yang jarang bisa ditemui dalam pertunjukan teater lain karena kekuatan karakter dalam orisinalitasnya.

Syifa Amori

Tidak ada komentar: