Minggu, 12 Februari 2012

Visualisasi ”Keju” Dalam Roman Bergambar



Gambar Matena adalah karya baru yang terpisah dari novel Kaas karya Elsschot, namun penikmat kedua karya ini punya peluang membandingkan

Bagi Frans Laarmans, membeli bunga sama sulitnya dengan mencari meja tulis bekas, sebab di toko bunga ada tiga jenis krisan: kecil, sedang, dan amat sangat besar, sebesar pinggan. Meskipun Laarmans mengambil yang kecil, penjual tetap mengambil yang besar, dua belas tangkai pula. Tak ada orang yang membeli bunga sebanyak itu dan jelaslah Laarsmans terperdaya.

Sedikit kisah tentang Laarsmans ini merupakan kutipan novel Kaas (Keju) karya sastrawan Willem Elsschot (dengan tokoh utama Laarsmans sebagai narator atau orang pertama -aku). Kaas adalah roman klasik pendek yang sejak terbit pertama kali tahun 1933 dan telah berpuluh-puluh kali dicetak ulang serta diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Termasuk diadaptasi dalam bentuk novel grafik –secara fisik berupa komik.

Dengan adanya adaptasi prosa ke dalam visual ini, deskripsi adegan saat Laarsmans kerepotan membawa buket krisan sehingga terpaksa menumpang taksi (meskipun kendaraan itu terlalu mewah baginya) tergambar detail dalam gambar. Apalagi, komik strip tersebut menampilkan image yang mengesankan mata, karena teknis yang rapih dan detail, serta perpaduan warna kromatik yang bisa mewakili fungsi ragam warna.

Karya Novel Grafis yang dipublikasi tahun 2008 ini adalah karya Dick Matena, ahli gambar Belanda yang membuat 119 ilustrasi berdasarkan buku Kaas dan menjadikannya roman bergambar. Dijuduli sama, novel grafis karya Matena menjadi visualisasi utuh substansi novel aslinya. Ia tidak sekedar mengadaptasi, namun mengubah media narasi dari literatur sastra menjadi komik sastra.

Matena dianggap bukan membuat gambar untuk buku, tapi menggambar seluruh isi buku. Teks lengkap di dalam buku muncul dalam gambarnya. ”Saya tidak membuat komik sastra, melainkan saya memakai sastra untuk membuat komik,” kata Matena yang menyebut karyanya dengan roman bergambar.

Semua gambar asli roman bergambar Matena milik Pusat Budaya deBuren (Brussel) dipinjamkan kepada Erasmus Huis untuk didisplay dalam Pameran Kaas: 119 Gambar Dick Matena. Pameran yang berlangsung di ruang pamer Erasmus Huis ini dibuka Duta Besar Belgia H. E. Christiaan Tanghe, hari Rabu (19/5) hingga Minggu (20/7), dengan mendatangkan Willem Bongers, ahli karya Elsschot yang mengintroduksi pameran ini.

Ketika memasuki ruang pameran, pengunjung disambut poster besar bergambar tokoh utama Kaas (sama dengan gambar hard-cover komiknya) yang menenteng kantung besar berisi keju edam. Itu pun keju-kejunya nampak masih terlalu penuh untuk wadahnya. Di bawah gambar ini lantas tertulis; Kaas, ”Brillian grisaille drawings” (Pewarnaan abu-abu yang indah).

Matena memang mengaplikasikan warna abu-abu dalam komik adaptasinya. Grisaille , adalah ejaan Prancis yang terkait dengan lukisan dengan teknik mewarnai keseluruhan monokrom atau nyaris-monokrom, biasanya berupa bayangan abu-abu. Gambar grisaille adalah dasar pelatihan dalam seni klasik, karena teknik ini membuat seniman bisa berkonsentrasi pada akurasi penampakkan bentuk tanpa bantuan warna.

Matena cenderung memberikan efek yang mirip dengan pewarnaan cat air dengan bias keabu-keabuan yang berpendar. Pada beberapa detail, hujan rintik-rintiknya yang memperlihatkan gambar garis-garis tipis (seperti arsiran besar dan rapih spidol atau tinta berujung tumpul). Kemudian juga tinta hitam tipis sebagai garis tepi semua bidang dalam gambarnya.

Karena teknik pewarnaan ini pula, karya Kaas Matena seperti menghadirkan perasaan kuno (atau klasik) pada pembaca. Mungkin ia sengaja ingin mencapai kesamaan esensi dengan literaturnya sendiri. Meski kelihatan matching (dilihat dari tahun pembuatannya), jalan cerita Kaas sendiri jadi sedikit lebih murung karena warna yang kelabu senada tersebut. Padahal, novel aslinya terasa penuh energi positif dan optimistik dengan pendekatan yang lembut dan sastrawi.

Diluar kesempurnaan teknik gambar Matena, Kaas versi visual kelihatan setingkat lebih serius dibandingkan novelnya. Karakter-karakternya juga cenderung lebih kaku. Sementara teks-teks dalam karya Elsschot justru mengalir santai. Sebutlah dalam potongan adegan penutup yang menggambarkan tokoh utama Laarsmans yang sedang berkumpul bersama keluarganya dalam kehangatan ruang makan:

Tak ada lagi perbincangan tentang keju di rumah. Bahkan Jan tidak pernah lagi mengungkit sepeti keju yang berhasil dijualnyadengan sukses dan Ida diam seribu bahasa. Mungkin dia tetap dijuluki tukang keju di sekolahnya.

Akan halnya istriku, dia berusaha agar keju tidak terhidang lagi di meja. Barulah beberapa bulan kemudian dia menghidangkan Petite Suisse untukku, keju Swiss puti berbentuk pipih, yang sedikit pun tak mirip Edam, kecuali jenisnya yang sama-sama keju.

Anak-anak yang patuh, anak-anak yang terpuji.

Istri yang baik, istri yang penyayang.

Ilustrasi teks ini dituangkan Matena pada sehalaman komik strip dengan tiga panel: yang persegi di bagian atas menggambarkan close up wajah seorang laki-laki (Mijnheer Hornstra) yang tengah membaca surat dari Laarsmans.

Panel berikutnya yang mendominasi halaman yang sama, divisualkan isi surat Laarsmans. Yaitu tampak belakang sang istri yang memegang panci sedang menoleh ke meja makan tempat Jan (anak laki-lakinya), Ida (anak perempuannya) dan Laarsmans duduk menunggu santapan.

Kemudian, panel terakhir terkecil di pokok kanan halaman kembali memperlihatkan sebagian besar wajah close up si laki-laki pembaca surat yang berkacamata itu dengan sudut bibir agak ditarik (seolah tersenyum meski matanya masih saja serius). Kesan murung inilah yang tak pernah lepas dari karakter pewarnaan dan ciri penggambaran ekspresi wajah (dengan mata yang selalu menyorot tajam) oleh Matena dalam Kaas.

Mungkin kesan ini dikarenakan teks (dalam balon-balon teks) komiknya adalah dalam bahasa Belanda sehingga pengunjung pameran yang tidak memahami bahasa Belanda sepenuhnya memahami cerita dan atmosfer emosi pada karakter cerita hanya dari visual.

Kaas adalah sastra singkat yang menggunakan sekitar 30 ribu kata. Kisah ini menceritakan soal Frans Laarsmans yang bekerja sebagai pegawai biasa di usia 50-an. Merasa kariernya mandek, ia mencoba berbisnis keju, meski tak mau ambil risiko kehilangan pekerjaan utamanya. Jadilah Laarsmans mengajukan cuti dari kantornya. Namun ternyata berdagang tidak mudah. Kejunya tidak laku, padahal keluargnya turut bantu menjualkan. Ketika bos Keju Mijnheer Hornstra mengabarkan akan datang menemuinya, Laarsmans pun terserang panik.

Jalan cerita ini jadi tambah menarik berkat kemampuan artistik Matena yang melukiskan suasana dengan susut pandang sinematik. Misalnya menjadikan gambar sosok figur sorotan utama sebagai point of interest dalam panel (dengan menggambar sosok lain yang tidak berkepentingan pada sudut yang lebih dekat).

Sosok yang digambar dengan angle lebih dekat (zoom in) ini dijadikan tidak penting, misalnya dengan gambaran terpotong tanpa wajah, sedang menghadap ke arah lain, atau menimpa bagian kepala dengan panel lainnya yang berisi gambar tokoh utama.

Keindahan ini dilengkapi kemampuan Matena menggambar suasana kota yang khas Eropa dengan bangunan tua menjulang indah, hiruk pikuk pengguna jalan dengan kereta kuda, sepeda, dan berjalan kaki. Serta cerminan kondisi Eropa di masa itu, yang juga tersisipi budaya Amerika -dengan hadirnya pertunjukan Broadway di dalam kota.

Tak heran novel grafis karya Matena ini mendapat penghargaan Best Verzorgde Boeken 2008 dalam kategori literatur. Matena juga pernah mendapatkan anugerah Stripschapsprijs untuk seluruh hasil kerjanya pada tahun 1986 dan penghargaan Bronzen Adhemar untuk adaptasinya terhadap karya klasik De Avonden pada tahun 2003.

Dick Matena lahir tahun 1943 dan menjadi seorang penggambar (khususnya komik strip) seumur hidupnya. Sejak diterbitkannya versi bergambar roman De Avonden (karya penulis terkenal Gerard Reve) tahun 2003, nama Matena semakin terkenal. Karya roman klasik Belanda lainnya yang berhasil ia goreskan dengan pensil dan penanya adalah Kort Amerikaans (Jan Wolkers, 2006), Kaas dan Het Dwaalicht (keduanya karya Willem Elsschot, 2008).

Syifa Amori

Tidak ada komentar: