Jumat, 12 September 2008

Alkisah Kota Terlarang…



Sudah hampir senja sewaktu saya duduk di halaman Forbidden City menghadap sebuah kuil di atas pegunungan yang letaknya tepat di seberang jalan. Berhadapan dengan gerbang timur, ShenwuMen (Gate of Divine Prowess). “Bus kita masih jauh. Kita istirahat di sini sambil menunggu yang lain,” kata Mr. Flower, begitu rombongan jurnalis Indonesia memanggil sang guide yang kerap menjunjung tinggi setangkai bunga Matahari buatan, supaya pengikutnya tidak kehilangan jejak. Karena objek wisata yang dikunjungi hari ini tak terkira luasnya, banyak anggota rombongan kami terpisah-pisah. Mungkin setiap orang punya sasaran eksplorasinya sendiri.
Dibangun oleh lebih dari sejuta pekerja selama 13 tahun, mulai tahun 1406 hingga 1420 oleh Kaisar Yong Le, kompleks istana Forbidden City mencakupi 980 bangunan dengan 8.707 kamar dan mencakup 720,000 meter persegi. Dinding yang melingkupinya memiliki tinggi lebih dari 30 kaki. Interior nya dicat kuning terang. Batu bata yang melapisi tanah, juga atap-atap yang menjulang ke langit, sejumlah dekorasi dan kuil di seluruh Forbidden City memiliki warna kuning. Hingga tahun 1911, ketika revolusi tiba di jalan-jalan, disinilah tempat di mana para kaisar tinggal, memerintah dan bersembahyang.
Dan disinilah saya termenung mendengarkan kisah seputar Forbidden City dan golden river. Sungai yang membatasi sisi timur Forbidden City dengan dunia luar supaya musuh tak mudah menyerang dan orang luar tak mudah masuk. Seperti parit kira-kira fungsinya. Bisa jadi ini karena begitu takutnya penguasa di istana kalau kehidupannya diketahui rakyatnya sendiri. Akibat banyaknya kekejaman dan ketidakadilan terkait keputusan Kaisar yang boleh sewenang-wenang waktu itu.
Film The Last Emperor yang dibuat pada 1987 kurang lebih menggambarkan situasi di dalam Forbidden City ketika Kaisar terakhir penghuni Forbidden City, Aisin Gioro Pu Yi, dijadikan raja 10 ribu tahun oleh ibu suri dengan gelar putra langit untuk memimpin Forbidden City pada usia 3 tahun. Raja kecil ini hidup dalam hamparan bangunan luas yang tertutup dari peradaban luar dengan segala aturan dan tata krama yang mengekang. Ia tumbuh jadi pribadi dewasa dalam tempaan nilai-nilai moral yang membuat setiap orang disekitarnya menganggap dia tak berbeda jauh dengan Tuhan. Segala pelayanan terbaik diberikan demi raja, apa pun dilakukan untuk raja. Meski berada didalam kota terlarang, Pu Yi kecil mutlak berkuasa untuk negaranya dalam istana mewahnya yang bergelimang harta benda.
Dalam blog probadinya, Saphira yang pernah juga berkunjung ke Forbidden City berbagi cerita bahwa kompleks istana Kaisar ini penuh dengan hantu dan cerita mistik. Bisa jadi, karena banyak asa dan dendam tertinggal di sini. Tempat dimana kaisar sebagai putra langit adalah satu-satunya lelaki normal yang hidup dengan ribuan selir, istri, gundik, permaisuri, serta ibu suri. Belum lagi ribuan dayang dan para kasim (bawahan yang telah dikebiri).
Di China kuno, pengebirian adalah salah satu bentuk hukuman tradisional (hingga Dinasti Sui) dan sarana mendapatkan pekerjaan di kalangan istana Kaisar. Orang-orang kasim diberikan jabatan tinggi dengan alasan mereka tidak dapat mempunyai anak sehingga tak akan tergoda merebut kekuasaan dan memulai sebuah dinasti. Memang di zaman ini, banyak kekejaman berupa pemenggalan kepala atau penggantungan dilakukan pada siapapun yang melakukan kesalahan.
Tapi ada juga cerita cinta yang mampu mengalahkan “arogansi” dinding pelindung Forbidden City. Apalagi medianya, kalau bukan Golden River. Agak unik kisah yang satu ini. Yang bercerita adalah teman jurnalis keturunan China. Saat rombongan kami sedang sama-sama menyusuri Golden River.
“Dulu, saking banyaknya selir. Sampai ada yang tidak pernah tersentuh raja. Dan perawan sampai tua,” katanya. Sehingga banyak diantara ribuan selir itu yang kesepian. Dan salah satunya berusaha melewati hari-hari membosankan dalam kungkungan dinding Kota Terlarang dengan menulis sastra. Tulisan di atas kertas itu ia buang di Golden River (yang mengaliri bagian dalam istana) hingga seorang pemuda menemukannya di sisi sungai di luar gerbang. Dan puisi-puisi itu ia temukan berkali-kali sampai membuatnya jatuh hati. Demi cinta, sang pemuda nekad memasuki gerbang Forbidden City.
Melihat kekejaman penguasa, saya dan teman-teman menebak bahwa kisah cinta ini berakhir tragis dengan hukum gantung bagi keduanya. Rupanya tidak. Setelah mengetahui, Kaisar malah menghadiahi pemuda itu selir yang piawai bersastra tadi. Dan jadilah Golden River saksi kisah cinta mereka. Benar juga, Forbidden City tak Cuma berisi sejarah yang menyayat hati, tapi juga yang “manis-manis”. Tak terasa kami sudah berjalan jauh. Panggilan ketua rombongan terdengar mengajak kami menuju bus. “Ayo, kita berangkat. Waktunya makan malam.”
Syifa Amori







Tidak ada komentar: