Jumat, 02 April 2010

Diawali Garis, Berakhir dengan Karya Seni

Ide membuat goresan garis menjelma jadi karya seni spektakular dan sarat makna


Adalah garis-garis dari batang puntung rokok yang disusun membentuk tulisan “NGGAK ADA MATINYA”. Ini adalah karya yang akan menyambut setiap pengunjung pada pameran Ligne a Ligne (Garis ke Garis) di Galeri Nasional yang melibatkan seniman kontemporer Prancis dan Indonesia.


Para seniman muda ini, menurut kurator pameran Michel Nuridsany, mencoba untuk keluar dari bingkai, menggambar dengan kapur di atas lantai, menggunakan lampu neon untuk menciptakan berbagai macam bentuk yang menghiasi tembok, menggantung gambar di atas tali menggunakan penjepit pakaian. Aspek sebagai media yang dinamik pada gambar tetap dipertahankan namun kini gambar menjadi lebih bebas.


“Menggambar tak perlu lagi hanya di dinding. Digantung di tali pun bisa. Lebih daripada persoalan teknis, estetika, yang penting adalah idenya. Karena dengan ide yang kaya dan ini justru membuat mereka kreatif untuk berkarya menggunakan media apa asaja dimana saja,” kata Michel saat ditemui di Galeri Nasional di hari pembukaan pameran dalam rangka Festival Seni Budaya Prancis 2009.


Ide brilian yang spontan sehingga memberikan kebebasan pada segi teknis dan media berkreasi ini juga bisa dilihat dari sebuah gambar berjudul Sans Titre dengan media arang diatas kertas. Sans Titre, mungkin tidak menawarkan estetika yang klasik –enak dipandang berlama-lama- karena hanya berupa goresan arang yang menggambarkan orang dengan kegiatannya masing-masing atau juga benda-benda.


“Tapi ini adalah karya gambar yang mirip sangat spontan. Senimannya menggambar apa pun yang menarik yang sedang berlangsung atau ada di depannya. Sangat cepat, mirip fotografi,” kata Michel tentang sang seniman, Damien Cabanes.


Cabanes mampu menggambar dengan cepat, sangat cepat, sekaligus menangkap esensi tingkah laku konsumen, kelompok, benda di teras café dimana ia sedang berada. Dengan begitu, proses berkarya juga merupakan seni itu sendiri.


Jika Cabanes menggores garis menjadi gambar dengan hanya dengan 10 hingga 30 detik saja, maka Dan Mu juga sangat cepat merespon ruang. Setelah memahami sebuah dimensi ruangan, Dan Mu akan segera berkarya dengan garis-garis. Ia memanfaatkan benang-benang hitam ditambah sedikit merah dalam membentuk pola baris lurus, keriting, dan melingkar. Kelihatannya tak beraturan, namun jika berada di dalam dimensi karya Dan Mu, akan terlihat berbagai sudut pandang mengenai instalasinya yang ternyata memberikan berbagai kesan. Mulai dari jaring laba-laba, tumbuhan menjalar, dan sulur-sulur hidup yang merambat dan makin meluas.


Menyadari efek yang rimbul dari karyanya, Dan Mu juga selalu meminta siapa pun yang mengamati instalasinya untuk memasuki rangkaian garis-garis yang menempel di dinding dan di lantai dan seliang tersambung satu sama lain.


“Ini adalah dunia saya. Untuk memahami karya saya, orang harus masuk dalam permainan ini. Dengan adanya sorot lampu cahaya, jika dilihat dari dalam, maka akan kelihatan bayangan garis-garis benang yang menjadi sebuah lukisan, karya visual, baru di dinding,” kata Dan Mu yang tak pernah menggambar sketsa terlebih dulu sebelum membuat instalasinya.


Meski didasarkan pada garis dan juga goresan-goresan pensil, pameran Ligne a Ligne sangat penuh dengan warna-warni yang kekanakkan. Yang menurut Lionel Sabatte adalah warna-warna yang mengingatkan pada mimpi. “Saya suka segala sesuatu yang berwarna. Warna membuat segalanya cantik dan fresh,” kata Sabatte yang menggunakan tisu toilet, kapas kosmetik, dan kapas telinga untuk karyanya.


Sabatte memanfaatkan dinding besar di dinding ruang pamer Galeri Nasional sebagai media yang ditempeli potongan tisu berawarna muda mirip dengan image tertentu. Seperti wajah orang, gedung-gedung bertingkat, pepohonan, dan juga anak-anak kecil yang dibuat dari susunan batang cottonbud.

“Karya Sabatte memperlihatkan lansekap perkotaan atau taman dan bangunan,” kata Michel yang menunjukkan material yang digunakan oleg Sabatte.


Karya yang ditujukan untuk membuat orang tersenyum ini memang dibuat Sabatte supaya menyerupai mimpi bahagia anak-anak. Karya ini ia buat langsung di Indonesia dengan spontan menggunakan material yang dipilihnya. Sabatte tidak merencanakan terlebih dahulu, namun hanya berimporvisasi mengikuti tahap-tahap pembuatannya.


Saking banyaknya ide yang memenuhi kepala para seniman ini, sebagian malah berkarya tanpa mesti menunggu media yang mendukung. Sebut saja Avec Titre karya Nathalie Elemento yang merupakan goresan-goresan yang ia lakukan sambil menelpon. Ide itu, menurut Michel, muncul ketika mendengarkan suara yang kemudian ia gambar diatas kertas. Meski berupa goresan pensil atau tinta saja, karya Elemento sangat detail dan rumit. Sulit dibayangkan bahwa ini dikerjakan sambil melakukan aktivitas lainnya.


Seniman Indonesia yang ikut serta dalam pameran ini adalah Prilla Tania dan Dimitri Rangga yang juga menghadirkan karya penuh humor dengan ide brilian layaknya seniman kontemporer muda di seluruh dunia. Di dinding, Dimitri menggambar dengan kuas menggunakan susu yang cepat kering sebagai cat sehingga membuat semut berkerumun dan dengan bebasnya mengerumuni goresan lukisan dan tulisan Dimitri tanpa peduli bawa mereka telah menjadi bagian karya seni yang divideokan.


Sama halnya dengan kejenakaan yang diperlihatkan Prilla dengan video yang menggambarkan seorang perempuan dilatari papan tulis kapur yang penuh dengan gambar berbagai benda. Pada pemutaran video ini. Prilla menggunakan objek seorang agdis yang seolah memfungsikan benda-benda yang digambar pada papan selayaknya benda 3 dimensi. Uniknya, Prilla memasukkan nilai lokalitas yang jenaka ketika model dalam video tampak menggunakan payung (gambar) untuk menyodok mangga diatas pohon (mangga) sambil tengok kanan kiri memastikan tak ada yang melihat perbuatannya.


Keragaman ide dan kreasi seni ini memperlihatkan bahwa Ligne a Ligne, seperti kata Michel, menawarkan inovasi dan humor segar yang baru. Khususnya lewat karya-karya yang ceria dan sangat bervariasi dari sisi aspek dan bentuk.

Syifa Amori

(dimuat di Jurnal Nasional)

Tidak ada komentar: