Jumat, 02 April 2010

Kerumitan Komik Mesti Tetap Sederhana


Bagi seniman komik Clément Baloup, komik adalah sesuatu yang simple, untuk dibuat dan dinikmati


Setelah beberapa waktu lalu seniman grafiti yang populer di Prancis, RCF1, datang untuk berpameran di Jakarta. Kali ini Pusat Kebudayaan Prancis (CCF) mengundang komikus Prancis yang karya-karyanya juga sangat diminati di Prancis, Clément Baloup Baloup.


Sama dengan RCF1, seniman keturunan Prancis-Vietnam, ini juga menghadiri workshop, selain mengadakan pameran komik-komik karyanya. Workshop yang diselenggarakan di CCF Salemba ini diikuti peserta para pembuat komik profesional yang perekrutannya dilakukan oleh Akademi Samali, ebuah komunitas belajar seni visual dan naratif (seni gambar, fotografi, komik dan pengembangan script) yang berbasis jaringan.


Pameran komik Clément Baloup berjudul La Boite A Bulles dibuka hari Senin (8/2) di CCF dana akan berlangsung hingga 21 Februari mendatang. Dalam pameran ini, Clement mendisplay, sehalaman dalam beberapa buku komik yang telah dihasilkannya. Dicetak diatas media berukuran besar, halaman-halaman komik ini digantung di langit-langit sepanjang lantai melintasi ruangan-ruangan di dalam bangunan CCF.


Menyimak komik Clément Baloup memberikan pengalaman emosional baru yang menceriakan. Warna-warna dalam karyanya menampilkan dimensi baru dalam sebuah karya visual. Terlebih, karya yang dipajang memiliki karakter yang berbeda satu sama lain hingga nyaris terasa dibuat oleh banyak komikus yang berbeda-beda. Baik konten, pewarnaan, efek, setting, dan genre-nya sangat beragam. Bisa dibilang, Clément Baloup menguasai banyak ”bahasa” dalam visualisasi komiknya.


Warna, terutama, menjadi kekuatan karya Clément Baloup. Buatnya, pewarnaan sangat efektif mengngekpresikan lebih banyak perasaan. Sepertinya, warna adalah kode-kode atas atmosfer spesifik yang ingin ditampilkannya. Meski, ada juga komiknya yang digarap dengan teknik pewarnaan hitam putih, karena pertimbangan tertentu. Misalnya karena keinginan menyampaikan dengan lebih sederhana dan efektif.


Lulus dari Sekolah Seni Rupa Angoulême, tempatnya mempelajari seni lukis, fotografi, juga video, komikus ini merasa ia makin diperkaya berbagai aspek dalam ide, gaya, dan teknis pembuatan komik. Tak heran karyanya dengan sangat lentur bisa beralih dari satu gaya ke gaya lainnya, dari satu genre ke genre lainnya.


Dengan kapasitas di dalam karya yang disuguhinya kini, Clément termasuk dalam gelombang baru komik Eropa yang berawal pada tahun 1990-an. Menurutnya, sebelum era tersebut, kebanyakan komik yang beredar di Eropa, juga Prancis, memuat konten-konten yang senada dalam bentuk yang juga serupa.

”Komik biasanya dianggap sebagai bacaan humor ringan untuk anak-anak saja. Kini komik hadir dalam bentuk karya seni –juga berupa buku- yang memuat banyak aspek seperti politik, budaya, sejarah. Cakupannya jauh lebih luas dan variatif. Bahkan ada yang sangat berat, baik konten mau pun garapan tekniknya sehingga awam sulit memahami maksud dan ide yang ingin disampaikan, kecuali, misalnya, ia adalah seorang penggemar seni lukis.Komik semacam ini sangat kontemporer dan banyak memuat unsur seni lukis yang mendalam. Biasanya tidak begitu disukai, namun keberadaannya tetap penting untuk keberagaman genre komik,” kata Clément saat ditemui disela-sela kegiatan workshop bersama Akademi Samali yang berlangsung selama empat hari.

Dalam artikel berjudul How Comic Books Became Part of the Literary Establishment di situs www.telegraph.co.uk, penulis Tim Martin mengungkapkan bahwa pengertian yang salah selama ini terhadap komik adalah karena menganggapnya sebagau genre ketimbang sebuah medium. Ia melihat bahwa akar dari komik populer abad 20 adalah bergenre fiksi, misalnya komik superhero Amerika seperti Batman. Meski begitu, banyak komik strip yang sudah sejak lama bergerak sebagai medium.

Kartunis dan kritikus Scott McCloud mencoba menggolongkan peranan komik sebagai medium ini dalam buku (komik)nya Understanding Comics. Di sini ia mengetengahkan wacana bahwa komik sebagai media untuk mentransfer informasi dan atau menghasilan respon estetik memuat begitu banyak genre: sejarah, kritik, biografi, fiksi-ilmiah, percintaan, memoir, klasik, sastra-fiksi, pornografi, dan banyak lagi, Semua terdiri oleh gambar dan kata-kata.

Komik-komik yang dipamerkan di CCF itu juga mencerminkan bagaimana bentuk seni ini telah menjelma menjadi sebuah penyampai pesan dan gagasan, diluar fungsinya sebagai media ekspresi senimannya sendiri.

Beberapa komik Clément kental dengan setting dan ornamen Asia sehingga banyak mengungkap unsur budaya yang tersirat, namun menggugah. Misalnya sebuah karya yang bercerita bagaimana tokoh bernama Clément (ketika berada di sebuah kota di Asia) menyesali ajakannya terhadap teman Asia-nya untuk menonton film Star Wars. Ia menyarankan pada sang teman untuk menyaksikan film terbaru itu di bioskop ketimbang menyewa DVD film lawas macam Titanic.


Rupanya, film Star Wars pilihannya sama sekali tidak dinikmati sang teman dan juga hampir seluruh penonton yang ada di bioskop. Mereka sibuk menelepon dan makan-minum sehingga suasana menjadi riuh. Dengan ornamen-ornamen Timur, Clément seperti mengisyaratkan bahwa di lingkungan masyarakat Timur, khususnya Vietnam, film yang populer di Barat tak melulu bisa menarik hati penonton lokal. Begitu pun bioskop bukan merupakan tempat khusus yang spesial bagi mereka. Penonton tak merasa penting untuk menjaga ketenangan dan ketertiban seperti –nilai yang berlaku di tengah komunitas Barat. Semuanya berlaku seperti menonton film di rumah saja.


Dalam selembar fragmen komik berbahasa Prancis ini, kelihatan bagaimana Clément sebagai seorang seniman memiliki gagasan yang ingin dikomunikasikan. Ia menyajikan simbol, tak hanya lewat setting, namun juga pewarnaan dan gaya penceritaan.


Dalam karya lainnya, mengenai seorang tokoh Vietnam, warna karya Clément lebih kelihatan ciri lukisan cat airnya. Begitu pun karakter dalam ceritanya didasarkan pada figur asli. Ada beberapa hal yang sangat bersifat visual yang menjadikan karya ini begitu serius. Bisa jadi berkat goresan warna (cat)nya atau garis-garis dalam bentuk di dalam gambar komiknya. Pilihan-pilihan artistik Clément ini mampu memperkuat konten cerita.


Ia juga memiliki segi artistik khusus yang digunakan pada sebuah komik fantasi-aksi. Misalnya pilihan warna dan eksekusi atas tingkat gelap-terangnya pewarnaan pada komik yang ber-setting dunia persilatan Asia, dengan tokoh utama pria sakti berkumis yang berwajah mirip kera. Karya Clément berjudul Mong Kheo (1.Le Vaurien) ini memuat banyak detail, yang makin lengkap kerumitannya dengan adanya adegan perkelahian.


Karya yang memuat tokoh-tokoh harimau jagoan yang bisa berjalan dan berbicara ini, komik mengingatkan pada perpaduan warna-warna dan sentuhan dalam komik-komik silat klasik Indonesia. Meskipun secara keseluruhan, tentu saja karyanya lebih rumit dalam hal latar dan detail.


Prancis memang memiliki tradisi panjang mengenai komik. Dengan sebutan BD (Bande Dessinées), komik Prancis memiliki kekhasan sendiri. Saking dihargainya komik, banyak penulis di Prancis juga mempublikasikan sangat bantak buku komik karya mereka. Di Prancis, penulislah yang mengontrol penerbitan komiknya. Mereka bekerja dengan bingkai waktunya sendiri. Kebanyakan pembaca menunggu selama 6 bulan untuk membaca terbitan baru dari komik favoritnya. Kebanyakan buku komik di sana diterbitkan dengan hard cover sepanjang 40 hingga 60-an halaman.


Meski begitu, Clément tidak melihat ada perbedaan signifikan soal komik yang bagus, meskipun dibuat dengan media yang terbaru. ”Jika ingin membuat komik, yang penting ada kertas dan pensil. Ini adalah sesuatu yang seharusnya simple untuk dilakukan dan simple untuk dibaca. Kalau pun saat ini kita bisa melakukan gambar dengan komputer dengan beberapa teknik dan efek yang lebih canggih, namun hal itu tidak begitu penting dan bisa dipelajari siapa pun,” ujar Clément yang mengatakan bahwa buku komiknya yang bergenre fantasi dengan judul Diable Sucres paling banyak dicari pembaca komik berkat jalan ceritanya yang unik.


Salah satu seniman komik pendiri Akademi Samali juga melihat bahwa pencanangan industri kreatif di Indonesia cukup membantu perkembangan komik lokal. Meskipun masih banyak komikus Indonesia yang berbakat yang memiliki perkerjaan sambilan lain dan atau bekerja untuk penerbit luar negeri.

Menurut Beng yang dikenal dengan karakter komik Lotif-nya, sebagian besar seniman Indonesia masih mengalami masalah dalam hal konten cerita. ”Kadang-kedang senimannya punya banyak sumber cerita, tapi cara menceritakannya untuk komik memang jarang yang benar-benar mengeksplorasi dengan mendalam. Mungkin karena medianya, di sini, masih dianggap kekanakkan sehingga jarang ada komik yang ceritanya benar-benar bagus.


Beng Rahadian adalah seniman komik lulusan Komunikasi Visual Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta. Karya komik stripnya dimuat dalam Koran Tempo mingguan. Ia juga merupakan editor tamu dan seniman dalam komik di banyak majalah. Pada tahun 2009 ini, Beng (melalui Cendana Art Media) menerbitkan kompilasi komik stripnya dalam jilid berjudul Lotif Versi Pasbook yang mengombinasikan diri dengan fenomena jejaring paling hip yakni Facebook. Tampilan halaman demi halaman menjadi semarak karena terhidang dalam format ala Facebook (FB) Page, dengan komentar berupa Like This sejak mula, foto-foto kontak, dan kotak-kotak yang merupakan ciri khas tampilan FB. Karya Beng menjadi salah satu komik yang digemari Clément. “ Beng Rahadian memiliki gaya yang sangat bagus dan sangat impresif.”


Bentuk workshop Dalam workshop yang diadakan CCF ini memang lebih bersifat saling tukar pikiran, pengalaman, dan ilmu, ketimbang sebuah pelatihan.


”Saya senang bisa bekerjasama dengan Akademi Samali. Bersama para seniman ini, kita jadi sama-sama bisa melihat potensi masing-masing. Apalagi komik Indonesia sangat menjanjikan, hanya belum terpublikasi dengan baik.”


Syifa Amori

(dimuat di Jurnal Nasional)

Tidak ada komentar: