Minggu, 09 Mei 2010

Kehangatan Fotografi Iwasaki


Bagi Iwasaki Akinori, kegiatan fotografi bukan hanya berkutat soal foto


Pikirannya melayang terhadap Ibu yang sedang bekerja di Malaysia sebagau TKI. “Bu, pulanglah pada Lebaran nanti…” (Banten Lama, 5 Oktober 2008)


Teks yang menyentuh hati ini tertulis diatas secarik kertas kecil berbentuk persegi yang ditempel dibawah foto hitam-putih berpigura hitam. Isi fotonya pun tak kalah nelangsa-nya. Tampak seorang ayah berkemeja sederhana tengah duduk dengan seorang anak balita yang berdiri diantara kedua lututnya. Keduanya menatap kamera, kecuali anak perempuannya yang berdiri lebih dekat ke kamera, namun justru menatap ke kejauhan. Pandangannya kelihatan kosong.


Bersandar pada cabang-cabang batang pohon yang tak berdaun, gadis cilik ini melamun dengan mata merindu. Seperti memang saat itulah ia ingin ibunya yang jauh-jauh mencari nafkah untuk datang menjenguknya. Mungkin juga, ia tengah asyik mengingat-ingat senyuman sang ibu. Yang pasti, Iwasaki -fotografer yang menuliskan teksnya- tidaklah mengada-ada soal apa yang tengah dirasakan objek dalam foto-fotonya.


Bukan hanya foto diatas saja yang menyentak emosi. Beberapa karya Iwasaki lainnya juga membuat hati terbawa suasana sendu dan juga riang hati yang sangat murni dan tidak dibuat-buat. Iwasaki, bisa dibilang, sangat peka menemukan moment dan situasi yang pas untuk diabadikan. Moment yang sangat berbicara dan bercerita mengenai apa yang sebelumnya dan sesudahnya mungkin terjadi.


Iwasaki tidak memamerkan penggalan foto, namun seluruh tubuh dalam sebuah foto. Ia terjun ke kampung-kampung di wilayah pinggiran kota Jakarta, berbincang dengan masyarakat, saling mengenal dan berbagi kisah. Lalu meminta izin untuk memotret jika ia mendapatkan emosi dari calon objeknya.

Dengan pendekatan yang tidak sebentar ini, wajar saja kalau hasil jepretan Iwasaki yang dipamerkan di Galeri Mini Japan Foundation, memiliki efek emosional yang besar. Dari sekitar 20 foto yang didisplay sejak Jumat (15/1) hingga Sabtu (16/1) tersebut, semuanya mencerminkan “kejujuran” perasaan yang spontan. Iwasaki sendiri memasukkan kategori fotonya dalam fotografi human interest.


”Ini adalah pameran kedua saya sejak tahun 2003 dan masih dalam jenis fotografi human isnterest. Khususnya yang bermuatan lokalitas ketimuran. Sekarang apa-apa sudah mencontoh Amerika, sementara saya melihat di sekitar saya masih sangat terasa nilai-nilai lokal yang menyejukkan. Kebahagiaan dalam kehidupan sekahir-hari yang sederhana dan mungkin biasa saja. Itulah yang ingin saya angkat,” kata Iwasaki yang akrab disapa Samsul saking sudah meng-Indonesia. Bahasa Indonesianya pun sudah sangat lancar sehingga membantunya berinteraksi dengan masyarakat tempat ia berkelana mencari objek foto.


Menurut Iwasali, situasi di perkampungan di Indonesia mengingatkannya pada Jepang di masa lalu. Saat itu antar rumah tanggak dalam satu lingkungan saling peduli dan akrab.


“Kini, semuanya berjarak. Banyak orang tinggal di apartemen tanpa tahu siapa tetangga mereka. Di Indonesia, masih ada keakraban macam ini,, misalnya adanya tiga generasi dalam satu rumah, kakek-nenek dan cucu saling bercengkrama dan menghormati yang tua,” kata Iwasaki yang sudah melakoni hobi fotografinya dengan serius selama lebih dari 10 tahun.


Kelihatannya, apa yang memancar dari foto-foto karya Iwasaki memang kesungguhan. Meski tak ada keistimewaan siginifikan secara teknis atau pemilihan objek dari fotografi profesional lain sekelas dirinya, hasil foto Iwasaki menyampaikan keutuhan yang sukarela. Ia mengizinkan orang-orang dalam fotonya untuk juga menjadikan dirinya sebagai ”objek” setelah ia menjadikan mereka objek dalam foto-foto.


Caranya adalah dengan berkomunikasi, mengobrol, dan mendengarkan curahan hati. Bincang-bincang ringan yang membuat objek fotonya merasa turu ambil bagian dari proyek Iwasaki. Apalagi, setelah memotret, biasanya Iwasaki akan datang lagi untuk menyerahkan foto diri mereka. Hubungan antara Iwasaki sebagai fotografer dan semua orang yang ada dalam fotonya tidak sesingkat proses melepas shutter-rana (tombol untuk memotret). Kompkleksitas inilah yang mewarnai pameran berjudul Temanku Ada di Sini tersebut.


”Saya berterima kasih, setelah saya memotret dan terima dari mereka, selanjutnya saya yang kasih,” kata Iwasaki yang melanjutkan proses fotografinya dalam dialog setelah pemotretan. Makanya Iwasaki selalu membawa dua kamera, satu untuk yang hitam putih dan yang lainnya adalah kameran untuk foto berwarna yang nanti akan dikembalikan.


Pilihan untuk memilih artistik foto hitam putih, menurut Iwasaki, adalah karena alasan teknis yang memperbolehkan dirinya memproses dengan cara mencuci film sendiri secara manual. Jadi ia bisa menggunakan tangannya sendiri hingga akhir proses. Untuk alasan estetiknya, Iwasaki mengaku kalau lokasinya memotret kebanyakan adalah komunitas ekonomi bawah yang hidup di tengah kondisi kumuh. Kekumuhan inilah yang buatnya bisa sedikir disamarkan oleh teknik hitam-putih.


Selain itu tentu juga karena kesan klasik yang tetap disukai dari foto hitam-putih. Di masa sekarang, eranya teknologi digital, hitam dan putih dirasakan membangun rasa nostaldia abad 20-an. Apalagi, kontras hitam dan putih serta gelap dan terang di dalam teknik ini dianggap sangat representatif untuk menghadirkan ”pesan” yang ingin ditekankan dalam sebuah karya.


Selain unsur klasik, hitam-putih masih dianggap sebagai cara termurah dan termudah untuk para pemula menguji kreativitas mereka. Para fotografer profesional pun masih.banyak yang menggunakan fotografi hitam-putih untuk alasan artistik tersendiri dengan eksplorasi teknik masing-masing demi menonjolkan gaya dan cirinya masing-masing.


Sebuah forum diskusi ruang jmaya di ditus acehfotografer.net, dikatakan bahwa saat memandang karya foto hitam dan putih akan terlihat daya tarik yang kuat dengan tone, bentuk dan tekstur yang berbeda, berpadu tanpa ada gangguan warna. Terbukti juga hingga kini foto hitam dan putih juga masih disukai dan sebagai fotografer memotret hitam dan putih bisa meningkatkan keterampilan. Hal ini membuat orang lebih terampil memahami kontras, bentuk, tekstur dan juga kita dilatih mengatur terang dan gelap sebagai elemen untuk menghasilkan foto yang baik. Saat ini membuat foto hitam dan putih dapat dengan mudah dan cepat dihasilkan. Di dalam kamera digital juga terdapat fasilitas pemotretan monokrom.


Selain itu, tentu sentuhan kepiawaian gaya dan teknis pribadi Iwasaki dalam memotret juga memukau. Misalnya pada beberapa foto yang secara visual sangat ideal secara komposisi. Termasuk juga fokus dan pencahayaan yang tak perlu diragukan lagi.


Misalnya foto sekumpulan anak-anak kecil –laki-laki dan perempuan yang sedang berkerumun di dekat gerobak kayu, dibawah rimbunnya dedaunan pohon yang merunduk ke tanah. Meski sekilas foto ini hanya memperlihatkan kebersamaan dalam “bingkai” fotografi yang terlatih, namun jika dilihat lebih seksama, komposisinya sangat unik. Bagai buah-buah bulat yang menggelantung ranum di ujung-ujung ranting berdaun. Sangat memesona. Sesuai dengan kalimat pendek dalam catatan Iwasaki, Pohon Berbuah Malaikat.


Jika komposisi adalah kelebihan dalam foto tersebut, maka foto berjudul Kepergian Bapak Sarman yang fokus pada figur seorang kakek di dalam ruangan sangat vokal dalam hal pencahayaan. Gelapnya ruangan pengambilan foto dimanfaatkan sang fotografer untuk mencari spot yang pas demi mendapatkan cahaya pada bagian yang ingin difokuskan, separuh wajah dan sebelah lengan kurus dan sedikit punggung kurus sang kakek. Sisanya hanya hitam dengan secercah cahaya yang mengintip sedikit dari ventilasi di bagian belakang latar.


Dalam catatan pameran Temanku Ada di Sini –mengutip dari woodmag edisi 20 Januari 2009- dikatakan bahwa Iwasaki menekankan pengenalan kamera yang menjadi piranti andalannya semaksimal mungkin agar dapat mengubah kelemahan menjadi kekuatan dalam karyanya. Termasuk jika kameranya lemah dalam soal cahaya. Bahkan dengan puluhan koleksi kameranya, ia sangat hafal karakter tiap masing-masing kamera tersebut.


Foto laki-laki renta usia ini juga dirasa Iwasaki paling mengesankan berhubung ketika ia kembali lagi untuk memberikan foto yang sudah dicetak, ternyata sang kakek sudah tiada. Makanya Iwasaki lalu menulis agak banyak dalam catatan dibawah foto ini: Selama ini saya ditinggalkan oleh orang-orang yang menjadi objek foto saya. ”Mari ketemu lagi di dunia akhirat”. Itulah salam terakhir saya terhadap mereka.


Semakin dalam menyimak karya Iwasaki, semakin dalam juga pengunjung akan terlibat dalam jurnal pribadinya, dimana setiap gambaran adalah sebuah curhatan, dari fotografernya, objeknya, dan mungkin juga penyimaknya.


Syifa Amori

Tidak ada komentar: