Kamis, 04 Desember 2008

Palembang Selalu Berjaya



Ini khusus guwa post buat kekasih hati:

jakarta | Jum'at, 18 Juli 2008 Posisi Layout: Naskah 1 (HL) (11794 char)
Sjifa Amori - Reporter Junior - Jum'at, 18 Juli 2008 10:49:02 WIB
Arie MP Tamba - Assisten Redaktur Pelaksana - Jum'at, 18 Juli 2008 12:32:53 WIB
Agus Setiawan - Layouter - Jum'at, 18 Juli 2008 13:22:02 WIB
Keyword : Palembang Selalu Mau Berjaya


Kilasan kemegahan masa lalu jadi latar adat istiadat Palembang. Akulturasi budaya yang dinamis memperkaya corak sosialnya.


Kalau ada daerah yang berkepribadian maritim meski letaknya tidak tepat di pesisir, itu adalah Palembang. Sampai produk makanannya pun banyak yang dibuat dari bahan ikan. Meskipun tak mesti ikan laut seperti tenggiri, tapi juga ikan sungai macam ikan patin dan belida. Sampai pempek kulit ikan pun ada di daerah yang kaya ragam makanan ini.
Walaupun tidak berada di tepi laut, namun Palembang mampu dijangkau oleh kapal-kapal dari luar negeri. Dalam situs ensiklopedia yang dituliskan Infokito, dikatakan bahwa sungai Musi masih menjadi alternatif jalur transportasi ke daerah tertentu dan untuk kepentingan tertentu. Beberapa industri yang ada di sepanjang aliran sungai Musi juga memanfaatkan keberadaan sungai Musi ini.
Meski air kini tak identik lagi dengan sendi-sendi kehidupan masyarakat Palembang, tetaplah sulit membayangkan kota ini tanpa menyertakan sungai kebanggaan mereka, Musi. Sungai Musi membelah Kota Palembang menjadi dua kawasan: Seberang Ilir di bagian utara dan Seberang Ulu di bagian selatan. Ini mau tak mau memberi corak yang kental pada karakter masyarakatnya. Sampai-sampai mengingatkan orang-orang Eropa akan kota air legendaris, Venezia, di Italia. Dijulukilah ia kemudian dengan Venesia Of the East.
Budaya air
"Air tak lagi dijadikan pusat kehidupan orang Palembang," kata budayawan Djohan Hanafiah. Padahal, menurut budayawan dan sejarawan asli Palembang ini, orang Palembang adalah manusia-manusia air. Ia menyatakan bahwa ada seorang ahli Biologi dari Inggris melihat denyut kehidupan Wong Palembang sampai dengan tahun 1800-an memang menyatu dengan air. "Jangan berharap bisa melihat orang Palembang berjalan di atas kakinya selama masih ada air dan perahu."
Sebegitu besar dampak modernisasi dan kebutuhan Palembang untuk memajukan daerahnya, daerah ini pun perlahan mengubah denyut nadinya menjadi seperti kota-kota metropolis lainnya. "Tapi sifat-sifat air yang mengalir ini tetap tergambar dalam gerakan tari Gending Sriwijaya," kata pengamat seni tari lokal Daru Purwanto pada Jurnal Nasional, Rabu (16/7).
Tak heran kalau jika dilihat sekilas tanpa dimengerti makna dan hakikat gerakannya, tari Gending Sriwijaya yang tersohor ini bisa dianggap monoton. "Karena dia mengalir menggunakan rasa, bukan ketukan. Hanya yang bisa menari dengan rasa yang bisa menampilkan pertunjukan tari yang memberi kesan mendalam."
Dan gerakannya juga bukan asal gemulai. Menerapkannya teramat sulit. Hal ini diakui penari profesional yang pernah dapat penghargaan dari pemerintah Provinsi Sumatera Selatan sebagai Seniman Tari pada 2002, Elly Rudy. "Ada pakem-pakem yang harus diikuti dalam tari Gending Sriwijaya. Apalagi sampai saat ini tari Gending Sriwijaya masih diyakini dan dipakai umat Buddha di Palembang sebagai bagian ritual. Makanya ada sikap Mudra yang, merupakan gerakan sembahyang. Yaitu sikap mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa."
Situs wihara.com mendeskripsikan Mudra sebagai gerakan tangan dengan pola tertentu yang merupakan bahasa tangan dan pembacaan mantra. Tak heran kalau dalam upacara Waisak di Bukit Siguntang, tari Gending Sriwijaya masih dipakai. Konon pada zaman Kerajaan Sriwijaya, di Bukit Siguntang pernah bermukim sekitar 1.000 pendeta Buddha dan hingga kini jadi tempat suci di mana terdapat makam-makam keturunan raja Palembang. Sementara tari Gending Srwijaya sendiri juga bercerita tentang kejayaan Buddha di masa Sriwijaya.
Selain jadi jejak asal muasal umat Buddha di Palembang, tari Gending Srwijaya juga memberikan petunjuk mengenai hubungan persaudaraan dan mungkin juga dagang dengan beberapa besannya, semisal China dan Thailand. "Ketika saya ke Thailand mementasakan Gending Sriwijaya dalam rangka misi kesenian, kita melihat banyaknya kemiripan sikap tari Gending Sriwijaya dengan tari-tarian tradisional Thailand. Dan cuma tari tradisional Sumatera Selatan dan Thailand saja yang dalam tariannya menggunakan tanggai, sejenis aksesori kuku yang memanjang.
Sedangkan kostum tari yang menggunakan kain serta pakaian gelamour dengan warna merah dan emas menyala, menurut Elly karena ada hubungannya dengan kekuasaan China di Palembang. "Kita ini kan pecahan Majapahit kemudian jadi Sriwijaya, makanya judul tariannya juga Gending. Tapi kalau pakaian yang mewah itu karena identik dengan glamour merahnya China. Tentang China pun ada memori tersendiri. Mengenai misteri Pulau Kemarau, yaitu perkawinan puteri bangsawan Palembang dan anak Raja China. Itu kan saksi bahwa kita dan China pernah besanan."
Djohan, yang pernah menggali dokumen sejarah mengenai Palembang dan Sumatera Selatan dari Universitas Leiden dan KITLV (Royal Institute of Linguistic and Anthropology) Belanda juga membenarkan bahwa di Palembang, antara kekuasaan Sriwijaya dan Kesultanan Darussalam, sempat ada kekuasaan China. Periodenya sekitar 200 tahun. Meski tak dominan, menurut Djohan, tetap ada pengaruh China pada pergaulan dan perdagangan.
Tarian sebagai jejak
Ini semakin menunjukkan kuatnya tarian sebagai bentuk ekspresi kultural yang kini makin digali oleh kalangan akademik dan organisasi publik. Bahkan UNESCO's Intangible Heritage Program menganggap tari tradisional sebagai sumber paling utama dari identitas yang berakar dalam pada masa lalu. Tarian tradisional yang dilakukan dengan dasar sosial, theatrical, atau ritual, merupakan bentuk ekspresi kultural. Seperti seni visual, ukir, atau arsitektur, tarian tradisional merupakan sisa dari kumpulan, kekuatan, dan bentuk penyebaran nilai-nilai tradisi. Hal ini diungkapkan Sangita Shresthova dalam tulisannya What is Endangered Dance? di situs coreoculture.com milik Core Culture, Chicago.
Menurut penulis tersebut, seringnya tari dimaknai sebagai gerakan yang unik dan artistik. Pada saat yang sama, sebenarnya ia punya makna lebih dalam yang bahkan bisa menggambarkan adanya jejaring yang saling berhubungan antara tarian tradisional satu daerah dan tarian tradisional daerah lainnya. Atau bahkan juga keterkaitan dengan cara atau olah gerak tubuh non-tarian suatu tradisi. Seperti misalnya Mudra.
Baru dari satu jenis tari saja, Wong Palembang sudah bisa tahu leluhurnya besanan dengan orang China dan Thailand. Padahal masih ada Tari Lilin Siwa yang menggambarkan bahwa di Sumatera Selatan ada orang Hindu. Dan juga tari Bedana yang bernafaskan Islam dengan karakteristik serupa tapi tak sama dengan Tari Zapin Melayu. Karena berasal dari satu rumpun.
Sebegitu besar peluang pencarian identitas dalam kesenian tari Palembang. Begitupun, tari, kata Elly, masih sedikit sekali digeluti seniman di Palembang. Masih kurang orang dan peminat. Karena sudah lebih banyak orang di daerah asal pempek ini lebih ingin jadi dokter. "Ngapoi nak nari, nak ngapoi kau cek itu? Mendeng jadi dokter bae, insinyur bae," ujar Elly menirukan nasihat orangtua. Inilah kenapa sampai saat ini perjuangan Elly untuk mengangkat Tari Bedana ke tingkat nasional belum menemukan titik terang. "Padahal tak hanya Gending Sriwijaya yang bagus. Masih banyak tari tradisi lainnya yang bisa dijual. Termasuk Bedana. Itu hanya masalah publikasi saja."
Pergeseran memang ada. Dari wilayah di mana penduduk dekat dengan air menjadi warga kota besar pada umumnya. Dari penari-penari tradisi yang menjiwai makna dan sejarah tariannya menjadi pelaku industri yang menjual seni tari. "Sekarang penarinya makin banyak, tapi sedikit yang berkualitas dan menari dengan perasaan. Karena hitungannya bukan lagi latihan dan penjiwaan, tapi sudah job pentas," kata Daru yang juga seorang koreografer tari yang beberapa kali mewakili Sumatera Selatan pentas di luar daerah.
Kehadiran agama Islam yang sempat mendominasi menguatkan proses akulturasi dan asimilasi. Ada Jawa, melayu, China, dan banyak lagi. "Belum lagi masa itu kemudian tergantikan masa penjajahan lalu kemerdekaan. Di mana paham egalitarian dan nasionalisme begitu kuat pada bangsa ini di era itu. Meninggalkan sisa ingatan akan kejayaan Sriwijaya di masa lalu hanya sebagai nama-nama besar yang ditaruh di universitas atau stadion," kata Djohan yang menulis puluhan buku sejarah saat dihubungi usai seminar, Rabu (16/7).
Taufik Wijaya, seniman kenamaan Palembang, pernah menulis bahwa keberadaan Indonesia, ternyata membuat sejumlah masyarakat menjadi cemas. Modernisme yang diusung, ternyata, secara tidak sadar, telah menghabiskan atau mengikis nilai-nilai baik yang terbangun di masa lampau. Misalnya, persoalan etika, dan moral. Romantisme pun muncul. Gerakan kembali ke masa lalu, merebak di Palembang pada akhir tahun 1990-an. Kesadaran ini pun tidak lepas dari pemikiran postmodernisme yang berkembang di Barat. Sebuah pemikiran yang mengkritik habis proyek modernisme. Salah satu pencarian identitas kaum posmo, yakni kembali kepada nilai-nilai masa lampau, yang belum dirusak modernisme. Sadar atau tidak, pendeklarasian Raden Mas Syafei Prabu Diraja sebagai Sultan Mahmud Badaruddin III oleh sekelompok wong Palembang, bagian dari dampak pemikiran postmodernisme tersebut.
Merespons globalisasi
"Kalau itu lebih berat ke kepentingan penampilan diri daripada mempertahankana atau memeklihara tradisi. Pembuktian identitas dengan memberi gelar macam-macam adalah reaksi yang tidak positif atas globalisasi. Apalagi kalau yang mengangkat Sultan adalah orang-orang yang tidak mengerti dengan hal yang dia buat. Malah hanya akan merusak tatanan," kata Djohan.
Baginya, melihat fenomena ini, adalah bentuk pemujaan atas masa lalu yang berlebihan. Ciri khas orang Indonesia dari suku mana pun. Ingat terus tentang kejayaan Majapahit dan Sriwijaya. Tapi tak sempat memikirkan keadaannya sendiri saat ini dan mau apa untuk nanti. Akan jadi apa Indonesia, dan Palembang, pada tahun 2500 nanti.
Djohan tak mengingkari adanya pengikisan nilai-nilai tradisi lama digantikan dengan yang lebih termodifikasi. Tapi tak hilang. "Kita masih sangat ketat dalam adat perkawinan. Meski tak semua tata cara adat lengkap dilakukan, tapi inti-inti upacara tradisinya masih tetap ada."
"Begitu juga hubungan kekeluargaan diantara kita masih sangat dekat. Walaupun garisnya tak sejauh dulu. Sebatas sepupu dan dan besan." Tapi siapa yang tak cari saudara di tanah perantauan. Makanya orang Palembang punya ungkapan Wong Kito Galo (orang kita semua). Sesama Palembang berarti bersaudara. Dan sebagai karakter perorangan, meski pengguna bebaso alus (kromon inggil) sudah terbatas sekali, sopan santun yang jadi identitas orang Palembang takkan bisa hilang. "Kalau ditawari makan, biasanya orang Palembang menolak dan mengatakan sudah kenyang, padahal kelaparan. Kalau mau pamit, orang Palembang suka bilang ada kesibukan lain atau ada kerjaan. Padahal nganggur. Seperti orang jawa saja, ada basa basinya," kata Djohan sambil sedikit banyak menggambarkan interaksi unggah ungguh (tata krama) antar manusia Palembang.Ini memperlihatkan dia punya harga diri. Dan ciri identitas ini tak bisa dihilangkan, meski oleh modernisasi.
Yang pasti faktor masa lalu yang megah berperan pada karakteristik kepribadian orang Palembang yang dianggap punya "sikap". "Dari songketnya saja kita bisa lihat bahwa dia punya produk kebudayaan yang menunjukkan tingkat peradabannya. Kerajinannya selalu mahal. Macam kue juga paling banyak. Hidangan pagi, siang, sore, malam semua berbeda. Itu memperlihatakan orang yang pernah mengalami masa gemilang sehingga semuanya mewah." Begitu juga perhiasan dalam tari-tariannya yang dulu banyak terbuat dari emas.

1 komentar:

Etalase mengatakan...

indonesia memang kaya akan budaya...ckckck, nice post sif!!